Cerbung Episode ke 17…
Oleh Sofi Muhammad
Perjalanan panjang
sering kali melelahkan. Apalagi jika perjalanan itu tak jelas di mana pangkal
dan ujungnya. Seperti sehelai daun jambu biji yang terbang tertiup angin,
jiwaku ini pun sama.
Namun, kerinduan
yang mendalam ini mampu mengalahkan segalanya. Baik goncangan tsunami ataupun
ganasnya terik siang, tak akan ada yang mampu menghalangiku merantaui jalanan.
Bising dan pengar
tiap kali bertanya dan tak bertemu jawaban. Awalnya lunglai, tapi kini aku
sudah mulai kebal. Kutanya dan hanya gelengan kepala saja jawabannya. Tak
masalah. Bukankah dia memang istimewa?!
Sebutir emas tak akanlah
tergeletak begitu saja di tengah jalan yang dilalui ribuan lalu-lalang. Hanya
sebutir, bayangkan! Tapi, pencarian untuk yang sebutir itu tak akan jadi
masalah karena ia bukanlah pasir muntilan.
“Yang minum, yang
minum,” kata seorang pedagang asongan di Kebun Binatang Mangkang sambil
mengalungkan dagangannya di depan perut. “Minumnya, Mbak?” tanyanya menawariku.
Sebenarnya tak
terlalu butuh. Tapi, melihat air mukanya yang menunjukkan bahwa hari ini belum
ada yang laku, aku jadi mengubah niat.
“Minumnya satu,
Pak.”
“Yang mana. Ini apa
ini?”
Begitu kuambil
salah satunya, cepat sekali senyum itu mengembang.
“Laris, laris,”
katanya sambil mengibas-ngibaskan uangku di atas dagangannya.
Setelah pedagang
asongan itu berlalu, ku buka tutup botolnya lalu kuteguk pelan. Sambil menelan
air, tak lupa kuedarkan pandangan. Di kebun binatang, sepertinya sia-sia memang
karena hanya ada kemungkinan kecil Arya mengunjunginya.
Tapi, sekecil apa
pun kemungkinan, tak akan mungkin aku lewatkan. Sekali lagi, aku tak mau
kecolongan. Sampai mati pun jiwaku ini tak bakal tenang jika hanya menunggu
sambil bengong di rumah.
Sambil berjalan
kecil, kunikmati juga pemandangan alam di dalam kebun. Menyusurinya tentu saja
sedikit lebih tenang dari saat aku mengunjungi pasar. Ketika melihat gajah
besar yang diberi pakaian, aku jadi tergiur ingin naik. Toh bayarnya cuma lima
ribu.
Tapi, sepertinya
sangat menyedihkan jika aku menaikinya sendirian. Kalau begitu, biarlah
kunikmati bersama Arya jika kami sudah bertemu. Dia pasti mau melakukan apa pun
asal aku bisa bahagia.
Bukannya GeeR.
Hanya saja, dia memang sudah dari dulunya pengertian. Bahkan tak pernah secuil
pun kuberikan imbalan namun dia tetap saja tak bosan-bosan menawarkan
kebahagiaan.
Sesekali, dulu, aku
pernah juga membayangkannya. Berandai-andai jika dia menjadi suamiku. Lantas,
kami berdua minggat dari rumah Mami untuk menempuh hidup baru. Benar-benar
minggat memang. Tapi sayang, sendiri-sendiri jalannya.
Akh, apa pun itu,
tak masalah. Asal Arya masih hidup, itu sudah lebih dari cukup!
“Hai, Laras,” sapa
seorang lelaki sambil memeluk bahuku dari samping.
“Kau,” kataku
sangat kaget, “ngapain di sini?”
***
Senyumnya terkadang
tak menjijikkan. Jika dia sedang mampu membuatku nyaman, aku malah takut. Hanya
khawatir saja jika tiba-tiba aku berubah jadi mencintainya. Jika itu sampai
terjadi, pastilah aku lupa untuk mencari Arya.
Apa lagi,
intensitas pertemuan kami yang sangat sering ini. Pagi, siang, sore, dan malam,
dia bisa kapan saja datang. Jika benar jadian dengannya, seperti lagunya Uut
Permatasari saja; ‘Pacar Lima Langkah’.
“Kau,” kataku
sangat kaget, “ngapain di sini?”
“Ngikutin kamu,
lah,” jawab Rio enteng, “mau ngapain lagi?!”
“Emangnya aku napi
harus diikutin?”
“Iya,” jawabnya
tegas, “napi di penjara hatiku!”
Kami kini sedang
duduk di bangku kosong yang menghadap ke danau di dalam kebun binatang. Sambil
bertengkar kecil, kuperhatikan beberapa pengunjung yang tengah asik menikmati
bebek-bebekan yang mereka kayuh bersama pasangan.
“Mau naik itu?”
tanya Rio sambil mengarahkan pandangannya pada bebek-bebekan.
“Nggak, ah.”
Kembali, kami hanya
terdiam. Sesekali, kuamati monyet hitam yang bergelantungan di belakang tempat
kami duduk. Ketika ada pengunjung yang melemparkan makanan, reflek sekali
monyet itu menyambar.
“Kenapa ngikutin
aku?”
“Penasaran aja.”
“Kenapa?”
“Habis, kamu sok
misterius,” katanya, “berangkat pagi, pulang malem. Nyari apa, sih?”
Lelaki yang satu
ini memang aneh. Dan sampai saat ini, aku belum tahu juga apa motifnya. Sangat
tidak masuk akal bagi pria yang katanya sangat mudah mendapatkan wanita di
kampus, masih juga mau sibuk-sibuk menggodaiku.
Kujawab saja dengan
hembusan nafas. Jika hendak penasaran, biar sampai mati penasaran, tak perlu
setengah-setengah.
Kuteguk lagi air
mineral yang masih tersisa lebih dari setengah botol. Kupandangi apa pun asal
tak sampai memandangi matanya yang sering kali mengawasiku. Tak hanya
diam-diam, bahkan nyata dan sangat menantangku untuk segera membalasnya.
Sayangnya, aku tak
pernah tertarik untuk itu. Meski indah tapi itu tak mampu menembus jantungku.
Sampai saat ini, belum ada seorang lelaki pun yang mampu menggantikan bius
tatapan Arya dalam pandanganku.
“Nanti pulangnya
bareng,” katanya. Bukan ajakan tapi lebih pada perintah.
“Kamu bawa motor?”
“Iya.”
“Kan aku gak bawa
helm.”
“Aku bawa dua.”
Pasti habis
ngelayap dia. Dasar playboy. Ke mana-mana selalu siap helm dua. Tapi, kalau
habis pergi, tak mungkin juga dia bisa tahu kalau aku ada di sini. Apa dia
memang benar-benar sengaja atau bagaimana.
Biarlah! Aku tak
ingin memikirkannya lama-lama. Bisa-bisa, nanti malah termakan bualannya. Aku
sama sekali tak berminat menjadi salah satu koleksi pribadinya. Lebih baik sendiri
daripada harus dipoligami.
“Ras, kalau kamu
mau jadi pacarku, kamu pasti nggak akan kesepian lagi…”