Cerbung
episode ke 14…
Oleh Sofi Muhammad
Taksi yang
kutumpangi kusuruh berhenti agak menjorok ke terminal. Setelah itu, aku
berjalan kaki menyusuri beberapa angkot yang kutolak tawarannya, pangkalan
awul-awul, miniresto, serta minimarket yang berjejer rapi di sebelah barat
terminal Penggaron.
Semuanya masih
persis dengan setahun yang lalu kala aku melarikan diri. Baik moncong-moncong
knalpot itu, juga pangkalan POM bensin yang masih tak terlalu ramai.
Ironis memang.
Seharusnya ia bisa menjadi yang paling ramai mengingat letaknya yang sangat
strategis. Tapi, mungkin malah jadi tak terlihat lantaran terlalu banyaknya
kendaraan yang memenuhi badan jalan.
Dengan sedikit
gugup, aku mulai melangkahkan kaki. Tentu saja dengan diam-diam dan sangat
hati-hati. Terlalu lama keenakan tinggal di rumah Mbak Dian, membuatku hampir
lupa jalan pulang. Tak ada kerinduan maksudnya.
Ketika tiba di gang
yang mengarah ke rumah Mami, aku semakin mewaspadakan diri. Sengaja memang
kupilih pagi-pagi. Jam enam-an begini, kuyakin belum pada bangun pasti. Meski
begitu, tentu Arya sudah bangun jika benar ia masih hidup dan masih mencuci
piring di sana.
Begitu sekian detik
lamanya tak kunjung ada perubahan, aku mulai khawatir. Kenapa pula ibunya Arya
tak muncul-muncul juga. pagi-pagi sekali biasanya dia juga sudah nyapu di halaman.
Kalau begitu,
ditunggu lagi saja. Sudah jauh-jauh mendatangi markas ini, dengan sangat banyak
resiko pula, tak boleh kembali sebelum mendapatkan apa-apa. Aku tak hendak
menyesal karena tak sanggup membawa pulang apa-apa.
Beberapa pasang
pejalan kaki mulai bermunculan. Seragam-seragam biru muda dengan celana
jeansnya menunjukkan bahwa mereka masuk dalam golongan karyawan di pabrik
Apparel sana.
Sedangkan jenis
lain yang mampu kulihat pagi ini yakni segerombolan wanita yang sama juga
mengenakan baju biru muda namun pakai rok biru tua semacam anak SMP. Tapi,
mengingat wajahnya yang sudah tak layak lagi untuk masuk dikategori itu, maka
jelas mereka adalah karyawan Betratek. Keduanya, sama-sama pabrik garmen yang
entah kenapa pada berdiri di sekitar terminal.
Wanita karir,
sebutannya. Dulu, aku pernah juga bermimpi menjadi jenis wanita yang sama.
Tapi, tak maulah jika jadi yang seperti mereka, tentu. Keinginanku adalah bisa
menjadi design grafis, berawal dari
kekagumanku pada guru komputerku yang keren.
Setiap ada jadwal
komputer, aku dan teman sebangkuku selalu bersemangat. Berhubung gurunya masih
muda, belum menikah, dan ramah, kami jadi ikut-ikutan suka dengan pelajarannya.
Seolah-olah, semua yang guruku suka itu, kami jadi ikut-ikutan suka juga.
Sayangnya, kini
cuma tinggal mimpi. Bisa sih sebenarnya kalau masih mau belajar sendiri. Di
rumah Mbak Dian ada seperangkat komputer yang selalu ia gunakan untuk browsing blue films sebagai referensi, katanya. Tapi, aku boleh pinjam kok
jika mau pakai.
Namun, masalah yang
kutahu sekarang ini sudah berbeda. Ternyata, aku tak benar-benar suka dengan design. Aku hanya suka dengan guru
komputerku. Begitu semuanya usai, aku jadi tak berminat lagi pegang komputer.
Ketika aku merasa
di ujung kelelahan menunggu sedang tak ada tanda-tanda sekecil apa pun, aku
memutuskan untuk berhenti. Sudah pukul tujuh dan di sana masih hanya sepi.
Tapi, betapa kagetnya aku saat ada seseorang yang tiba-tiba menepuk bahuku dari
belakang ketika aku masih mengintai diam-diam.
Tubuhku serasa
kaku, pikiranku segera berputar. Menduga-duga kira-kira siapakah pemilik tangan
yang menepukku itu.
“Laras…,” sapanya,
yang semakin membuatku takut karena ia benar-benar mengenaliku.
***
Kebisingan jalan
raya semakin kian nyata. Motor, mobil, truk, tronton, juga angkot besar dan
kecil, berhamburan kesana-kemari. Asap-asap semakin menggumpal tebal.
Mengepulkan kesibukan yang setiap hari tiada henti.
Beberapa burung
kecil kadang bertengger di tepi bebatuan di atas gundukan pasir. Tak ada
makanan di sana, hanya ingin berkicau saja barangkali. Namun, kicauan sekeras
apa pun itu, masihlah kalah dengan kebisingan roda-roda bermesin.
“Laras…,” sapanya.
“Oh,” kataku lega
sambil memegang dada, “Mbak Sari.”
Sosok perempuan
bertinggi badan kurang lebih seratus enam puluh centi meter dengan berat badan
ideal itu menatapku keheranan.
“Ngapain kamu di
sini?”
“Ah, anu, Mbak…”
“Apa?” tanyanya
lagi “Kalau katahuan Mami, bisa dibunuh kamu!”
“Iya, Mbak. Aku
tahu, tapi…”
“Ibumu sudah mati.”
“Apa?!”
Mataku terbelalak
kaget. Ibu.
Aku bahkan telah
lupa jika ternyata masih memiliki seorang ibu. Beberapa bulan belakangan ini,
aku bahkan tak sering merindukannya. Berhubung kami memang jarang
berkomunikasi, mungkin keterikatan di antara kami ini meluntur.
Tapi, begitu
mendengar kabar kematiannya, aku baru merasakan sesuatu. Yang mati adalah ibuku
sedang aku telah mati rasa merasainya. Sekarang, aku justru membenci diriku
sendiri yang kini ikut-ikutan tak berperasaan.
Kenangan apa coba.
Selama bertahun-tahun kami bersama, dia bahkan tak pernah bercerita mengenai
kanker di rahimnya. Atau, bagaimana sakit hatinya kala melihatku diejek sebagai
anak yang tak punya ayah. Selalu, dia hanya diam selalu dan itu menunjukkan
ketidakpeduliannya padaku, menurutku begitu.
Kini, keadaan
tiba-tiba memaksaku untuk bersimpati. Ada tentu tapi tak sampai membuat air
mataku basah oleh linangan air mata. Bagiku, ibuku sudah mati bahkan sejak
jauh-jauh hari.
Yang ingin kutahu
saat ini adalah kabar Arya. Di tepian jalan dekat rumah Mami ini, aku ingin
tahu semuanya. Mbak Sari yang baru saja pulang masih dengan rok mini dan mulut
berbau alkohol, terpaksa kuhentikan sejenak untuk kuinterogasi singkat.
“Usai kamu kabur
itu,” katanya mulai bercerita, “Pak Letnan mengeluarkan pistolnya.”
Aku diam dan serius
mendengarkan. Hidupku ini kurasakan semakin bergantung dari masih hidup atau
tidaknya Arya. Biar bagaimana pun, aku tak akan mampu bertahan jika bukan Arya
dulu yang memulai.
“Arya memang
ditembak,” katanya Mbak Sari, “tapi tak
sampai mati.”
“Jadi, dia masih
hidup?”
“Iya, tapi…”