Cerbung
Episode 12...
Oleh Sofi Muhammad
www.islamedia.web.id |
Semakin lama, Mbak
Dian semakin sibuk saja. Alhasil, semakin jarang pulang juga dia. Berhubung aku
di rumah sendirian, Rio kian sering mencari kesempatan. Jika terus seperti itu,
aku takut tak bisa menahan diri.
Seolah tak ada
kegiatan lain dia. Pagi-pagi sekali saat jogging,
ia selalu menyempatkan diri mampir. Ketika sore harinya kala ia sedang tak ada
kegiatan usai ngampus, masih juga mencoba-coba mencari peruntungan tambahan.
“Ras, Ras, apa sih
yang kamu cari?” katanya mencoba mempengaruhiku.
“Nyari ulat di daun
mawar,” kataku sambil membolak-balik dedaunan di teras.
“Bukan itu
maksudku.”
“Tapi, itu maksudku!”
Ketika tangannya
mencoba meraih tanganku, aku selalu tak sudi menyambut. Kuat-kuatan saja di
antara kami berdua ini. Sayangnya, Pak RT tak pernah sigap dan terlalu memanjakan
warganya. Persis sekali dengan RT di lingkungan Mami dulu.
Tapi, segala sikap
Rio tak mampu kunikmati sebagai sebuah rayuan yang menyenangkan. Mungkin karena
sudah terlalu buntunya jalan pikiran ini. Tiap kali hendak mencoba membuka
hati, bayang-bayang Arya masih saja menunggui.
Sayangnya, semuanya
semakin mengabur dari tahun ke tahun. Sekali pun, angin tak pernah menyapa
untuk sekadar memberi kabar. Bahkan semakin kabur, sekabur batasan garam yang
bersanding dengan air di lautan.
Ingin sekali rasanya
bisa sesekali mengintip kediaman Mami; mencari tahu masih atau sudah perginya
Arya dari sana. Sekian kali dan berkali-kali lamanya, keinginan itu hanya
tersimpan sebagai beban.
“Ras, kenapa
melamun?”
“Ah, kau pulang
saja dulu,” kataku, “aku mau tidur.”
“Jam berapa ini mau
tidur?”
“Terserah
aku,”jawabku ketus, “badan-badanku sendiri.”
Kutinggalkan saja
dia di tempatnya. Sedangkan aku terburu-buru sekali berlalu kemudian dengan
parau kututup pintu, kukunci dari dalam dan tak kuhiraukan lagi panggilannya yang
menghiba kasihan.
Tiba-tiba, air
mataku tertumpah. Dunia ini serasa kejam buatku. Selalu saja berkehendak tanpa
memedulikan parasaanku. Dikiranya batukah aku ini. Bertubi-tubi dihantam
sedemikian keras oleh segumpalan keganasan karbondioksida malam.
Arya, rasa bersalah
itu tak bisa lepas. Mencariku ke mana pun aku melarikan diri. Padahal hanya dia
satu-satunya manusia yang masih tersisa. Tak hanya tangis tapi juga mampu
menghadirkan tawa.
Setiap kali
mengamati dapur, seolah-olah ada dia di sana sedang mempersiapkan sesuatu
untukku. Ketika mendiami meja makan, dia pun turut hadir dan memberikanku
sesuapan. Tersenyum sejenak lalu menghilang kemudian.
Yang demikian itu
sungguh mampu merontokkan kesadaranku. Apalagi ketika Mbak Dian lagi-lagi pergi
sedang aku cuma sendiri. Terkadang, bahkan sampai tak nafsu makan lagi saat
kerinduanku kumat menengarai Arya yang lagi-lagi tidak ada.
Jika terus-terusan
seperti ini, aku takut tak sanggup menahan diri. Terlalu lama berpikir, otakku
mungkin akan membusuk saking seringnya dipanasi. Tapi, Arya tetap tak kembali.
Yang tersisa kini hanya fatamorgana yang mengikutiku ke mana saja.
***
Mbak Dian baru saja
pulang ketika aku masih terbenam dalam bantal usai menangis seharian. Terlanjur
tertidur tanpa menutup pintu kamar, Mbak Dian lansung masuk saja. Dengan
ringannya ia melemparkan tubuhnya di sebelahku hingga membuatku tersentak
kemudian reflek bangun.
“Ah, sudah pulang,”
kataku dengan tenaga seadanya.
“Capek, aku Ras.”
Aku pun kembali
membenamkan diri. Sesenggukan itu sudah lama pergi namun kurasakan bengkak
sekali mataku ini. Letih sekaligus malu jika Mbak Dian sampai tahu. Bukannya
apa-apa. Dia pasti tak suka jika aku sampai menangisi seorang pria.
Telah lama Mbak Dian
berkelana. Kesana- kemari, didapatinya bahwa semua lelaki itu sama. Sebelum
bertemu dengan Mami, Mbak Dian sempat pacaran dengan temannya waktu SMA. Lelaki
itu ganteng, katanya.
Setelah sekian lama
menikmati kenikmatan berhubungan, Mbak Dian akhirnya positif hamil pas di penghujung
SMA. Ketahuan oleh pihak sekolah, dikeluarkanlah dia. Sedang lelaki-nya itu,
berhubung sudah kelas tiga, maka dia diberi kesempatan.
Mulanya dibilang
mau bertanggung jawab, menunggu sampai dia lulus dulu asal digugurkan saja
kandungannya itu. Demi kebaikan, kata lelaki itu. Tapi, begitu benar-benar
digugurkan, kesempatan saja dia buat lari.
Usai lulus pun, ia
malah kuliah di Sumatera. Tak meninggalkan jejak bahkan hingga sampai saat ini.
Ketika ia mencoba bertanya pada orangtua lelaki itu, malah dibentak-bentak dan
dimaki. Hingga kini, Mbak Dian begitu benci dengan lelaki.
Kebencian yang
membuatnya puas tiap kali melihat para lelaki bertekuk lutut di bawah telapak
kakinya. Apalagi jika sampai tahu bahwa rumah tangga dari salah satu klien-nya
itu sampai hancur. Tambah berlipat-lipatlah keceriaan di wajahnya.
“Aku ingin semua
orang merasakan apa yang aku rasakan, Ras,” katanya pada suatu hari.
“Mbak Dian juga mau
melakukan itu padaku?”
“Ah, tentu tidak,”
jawabnya merasa bersalah, “aku tak mungkin melakukan itu padamu.”
Jika bukan manusia,
lalu terbentuk dari jenis apa hati Mbak Dian itu. Kadang-kadang baik, kadang
pula melebihi binatang jahatnya. Tapi tidak! Salah besar jika kusamakan dia
dengan binatang. Tak ada binatang yang mau menampungku tanpa mengharapkan
imbalan.
Di luar dari semua
keburukannya, dia toh tetap kakakku yang paling baik sedunia. Merawatku, si
tikus got ini yang hampir mati terlindas tronton kala berkeliaran di jalanan.
Dipungut, kemudian dimandikan hingga aku tak bau got lagi.
Mengingat
segalanya, kebaikannya hingga pada ujung nasibnya, aku kembali sesenggukan.
Mbak Dian yang semula menuju terlelap, jadi bangun begitu mendapati ekspresiku.
“Kamu kenapa, Ras?”
Aku tak juga mampu
menjawab. Tangisku semakin dalam saja menghujani setiap relung-relungnya.
Hendak berhenti tapi tetap saja tak bisa. Bahkan ketika Mbak Dian berusaha
melihat wajahku dengan setengah terbaring, aku semakin ingin memuntahkan semua;
baik kesedihan menunggui Arya atau kala menangisi Mbak Dian. Nasib orang-orang
sebaik mereka yang tak baik itu membuatku semakin tak percaya dengan keadilan
Tuhan.
“Matamu,” kata Mbak
Dian kaget, “kamu menangis?”