Cerbung Edisi 21..
Oleh Sofi Muhammad
Semakin sering
libur, semakin sering Rio mengunjungiku. Jika ada Mbak Dian di rumah, dia tak
berani macam-macam. Bukan lantaran takut pasti karena Mbak Dian pun tak akan
peduli. Hanya tinggal rasa malunya itu yang membuatku cukup nyaman dalam
beberapa detik.
“Nggak ngantor,
Mbak?” tanya Rio basa-basi.
“Besok ajalah,”
jawab Mbak Dian, “libur dulu.”
“Ngantor aja deh.”
“Maksa banget. Biar
bisa kencan, kan?”
Berkata seperti
itu, Mbak Dian sambil melirikku. Aku pura-pura saja tidak tahu, tidak sadar
jika sedang menjadi topik pembicaraan. Ketika ada Five Minutes manggung di TV, kukeraskan saja volumenya.
“Eh, Mbak,” kata
Rio lagi yang sayang sekali masih juga masih bisa kudengar, “masa kata temanku,
wajahku ini mirip sama vokalisnya Five Minutes, lho.”
“Yang mana sih?”
“Itu tuh, yang lagi
ada di TV.”
Dasar Rio!
Dia semakin gencar
saja cari gara-gara. Mbak Dian juga begitu. Seolah mampu menjadi partner
setianya yang bahkan tak perlu dibayar. Tak tahu juga apa yang telah mereka
rencanakan di belakangku. Yang jelas, aku semakin mampu merasakan
persekongkolan itu.
Jika
diterus-teruskan, aku pasti kalah juga. Dua lawan satu. Ah, tidak! Dua setengah
lawan setengah. Aku sudah jadi setengah karena setengah dari diriku pun sudah
mulai mendukung gerakan Rio yang semakin gencar hendak menerobos benteng
pertahananku.
Sial sekali hidup
ini. Hanya minta ketenangan saja kenapa tidak dikasih. Lalu yang boleh dinikmati
itu apa? Ini tak boleh, itu tak boleh. Yang diinginkan malah tak pernah datang.
Justru yang hendak dibuang malah keseringan memunculkan aroma yang menantang.
“Menurut Mbak
gimana?”
“Ya, mirip sih.”
“Ah, berarti Laras
suka dong?!”
“Iya, mungkin,”
jawab Mbak Dian, “tapi masih gengsi.”
“Aku juga ngerasa
begitu sih, Mbak, ha, ha…”
“Ha, ha...”
Mereka cekikikan
berdua. Sementara aku semakin dongkol. Tak hanya dengan mereka tapi juga
dongkol pada diriku sendiri. Mendapati rangsangan dari Rio seperti itu, tak bisa
kubohongi jika aku pun membenarkan perkataan mereka. Benar banget kalau aku
cuma gengsi.
Gawat ini! Kalau
keseringan seperti ini, aku pasti benar-benar lupa dengan Arya. Jahat sekali
rasanya jika itu sampai terjadi. Setelah begitu banyak yang dia lakukan, kini
aku malah hendak merelakan diri untuk masuk dalam jebakan si Playboy itu.
Tahulah aku bahwa
Rio tak mungkin serius. Tapi, godaan untuk bermain itu juga ada di benakku. Apa
aku harus selamanya serius, tak boleh main-main barang sejenak?
Arya, andai kamu di
sini sekarang, pasti tak akan terasa sesulit ini. Tinggal kupeluk kamu dan
semuanya akan selesai…
“Halo,” Mbak Dian
lagi dapat telephon. “Pelankan,” katanya sambil menunjuk arah TV.
Kukecilkan
volumenya dan aku pun ikut sedikit nguping, penasaran dengan apa yang sedang
dibicarakan Mbak Dian lewat telephon. Tanpa kuminta, ketakutanku pun otomatis
segera muncul.
“Sekarang, Om?”
tanya Mbak Dian pada mulut telephon.
Tuh, kan? Mulai mau
pergi lagi pasti.
“Oke, deh. Aku
siap-siap dulu, ya.”
Benar-benar gawat!
Aku pasti bakalan ditinggal lagi dan hanya berdua saja dengan si Playboy itu. Setelah hari itu, pasti dia
sudah tak takut untuk mencobanya lagi. Dasar bodoh juga, kenapa aku begitu
mudah sekali larut.
Dalam jeda ketika
Mbak Dian bersiap-siap, aku mulai memutar otak. Tak mau jika aku hanya
ditinggal berdua saja dengan Rio di rumah. Di pikiranku, kubayangkan Rio pun
sedang berpikir untuk melanjutkan atraksinya yang belum selesai.
Jika hendak pergi,
lalu ke mana?
Kenapa aku sebegitu
menyedihkan. Seorang pun tak punya teman sebagai tempat pelarian. Perasaan,
hanya aku yang tak punya teman. Sekadar tetangga baik saja pun tak punya.
Betapa menyedihkannya ini. Apalagi saat menonton sinetron di TV. Yang jahat
saja masih diberi teman untuk membantu kejahatannya. Apa aku ini jauh lebih
jahat dari para tokoh jahat di sinetron itu?!
“Ras,” teriak Mbak
Dian dari dalam kamar.
“Ya,” balasku
dengan setengah berteriak pula.
“Mobilku dipanasi
ya!”
“Mana kuncinya?”
“Di atas TV
kayaknya.”
Kuserobot dengan
segera kunci mobil itu. Ada dua.
“Mobil yang mana,
Mbak?”
“Yang hitam saja.”
Kuambil salah satu.
Sambil kutimang-timang, kulangkahkan kaki pelan menuju pelataran. Sebisa
mungkin berusaha terlihat tenang karena Rio selalu saja mengawasiku dengan
matanya.
Entah pikiran kotor
apa yang kini merasukinya. Sedikit banyak, aku berusaha untuk tidak larut lagi.
Meski tatapannya sedemikian indah tapi aku tak mau menceburkan diriku dalam
pelukannya, pelukan semunya karena kutahu pasti dia hanya ingin main-main saja.
Dikiranya apa aku ini.
Jika dia tak sejahat itu, mungkin aku masih kasihan. Selanjutnya jadi simpati
kemudian jatuh cinta. Untung dia tidak sebaik itu. Hah, tidak baik saja aku
sudah klepek-klepek apalagi baik.
Begitu aku keluar
menuju garasi, dia membuntut di belakang. Awalnya, aku tidak sadar. Baru ketika
kudongakkan kepala usai menyetarter mobil Mbak Dian untuk dipanasi, tiba-tiba
saja ia sudah nongol di belakang sambil memandangiku penuh mesum.
“Kalau Mbak Dian
pergi,” katanya memulai, “kamu jangan kabur lagi, ya.”
Wajahku barangkali
berubah merah. Seolah seluruh aliran darah itu mengalir ke atas menuju kepalaku
saja. Kaki terasa layu tapi kepalaku berat sekali.
Bukan merah karena
marah tapi karena hormonku kurasakan sedang bekerja dengan baik. Tawarannya
yang demikian menggairahkan itu tak bisa kupungkiri sangat membuatku tertarik.
Hanya ada bagian kecil saja yang masih tetap ngotot melarang.
Jika aku sampai
jatuh pelukan Rio, apa kira-kira Arya akan mau memaafkanku?
“Aku ada urusan di
luar, mau pergi,” kataku berusaha tegas.
“Aku ikut ya,”
pintanya memelas.
“Nggak boleh,”
jawabku, “sangat pribadi ini!”
Kutinggalkan saja
dia untuk segera bersiap-siap pergi entah ke mana. Sedikit pun, aku tak hendak
memberinya celah untuk bisa menggerayangiku lagi.
Baca juga: