Cerbung Episode ke 16….
Oleh Sofi Muhammad
Mendapati wajahku
yang layu tiap kali pulang dari bepergian, Mbak Dian sepertinya mulai curiga.
Sementara itu, aku yang setiap kali ditanya habis dari mana selalu memberi
jawaban yang sama seperti yang pertama.
Menyadari
kecurigaannku, aku semakin memperjarang intensitas keluar. Kutahan benar-benar
diriku, menunggu hingga Mbak Dian ada jadwal yang cukup lama di luar kota.
Ketika menunggu
itu, rasanya seperti hampir meledak. Menahan kerinduan terlalu lama membuatku
sulit sekali bernafas. Tiap kali kuhirup, hanya desahan nama Arya yang
menyumbat di tenggorokan.
Terhenti seketika.
Hingga pada akhirnya, pernafasan ini hanya terjadi setengah-setengah. Oksigen
di paru-paruku pun juga setengah. Sakit sekali dan rasanya ingin terbaring saja
kala malam. Aku mulai tak sanggup berbuat apa-apa.
Saat Mbak Dian
pulang, betapa susahnya hidupku karena harus berpura-pura selalu tidak terjadi
apa-apa. Hampir setahun kulakukan pencarian secara diam-diam seperti itu. Uang
yang dijatahkan Mbak Dian untuk kugunakan sebagai jalur pemuas di restoran,
kualihkan semua untuk bayar taksi.
Bahkan, jika saking
tipisnya persediaan di kantong, aku tak jarang pula naik angkot.
Berdesak-desakan dengan puluhan penumpang, berbagi keringat asam yang pernah
juga membuatku ingin muntah.
Pengorbanan yang
demikian ini pun kurasa masih jauhlah dari apa yang telah dilakukan Arya
untukku. Dua kali lipat dari yang seperti ini pun aku masih sanggup asal aku
dipertemukan lagi dengannya.
Di mana pun dan
kapan pun kami bertemu, aku akan menerimanya, apa adanya. Bahkan, gantian
menjadi budaknya pun aku rela. Di rumah Mbak Dian ini, aku sudah mulai belajar
mempraktikkannya sehari-hari. Semoga saja benar bisa bermanfaat untuk kugunakan
sebagai sarana balas budi jika bertemu dengan Arya nanti.
“Air mineralnya
Bu,” pesanku pada pedangang asongan yang lewat di depan mata.
“Oh, iya,” katanya
sambil buru-buru melayaniku.
“Berapa?”
“Tiga ribu.”
“Makasih, Bu.”
Kuserahkan sejumlah
uang yang ia minta lalu kuteruskan perjalanan. Sambil masih meneteng minuman di
tangan, sambil kuteguk ia pelan-pelan, mataku tak juga berhenti mengawasi. Di
segala penjuru, aku tak mau terlewatkan sedikit pun.
Jika kemarin sudah
kuputari Pasar Johar, Terminal Terboyo, hingga STM-nya, sudah tanya-tanya juga,
kini aku berada di Pasar Peterongan. Entah kenapa, aku selalu berpikir bahwa
Arya akan mengantar ibunya berbelanja sembako di sana.
“Nyari apa, Mbak?”
tanya seorang pedagang yang menawariku.
Kujawab itu hanya
dengan senyum.
“Sini Mbak,
pilih-pilih dulu. Masih seger, lho,” kata pedagang yang lain.
“Tomatnya, Mbak?”
“Buncis murah,
Mbak.”
Akh, rasanya ingin
kuteriakkan bahwa aku sedang mencari Arya. Tapi, rasa tidak enak ini membuat
bibirku terpaksa tersenyum juga. Aku lumayan tahu bagaimana watak para pedagang
pasar itu. Tak maulah cari gara-gara dengan meladeni mereka.
Tapi, hingga capek
betis ini, belum juga ada hasil yang memuaskan. Sayang sekali memang karena
Mbak Sari pun nyatanya tak tahu Arya ada di mana. Usai cabut dari rumah sakit,
Arya langsung menghilang dengan ibunya.
Saat kucari di
sekolahannya pun, tak ada yang mengenalnya.
“Ada banyak Arya di
sini, Mbak.”
“Namaku juga Arya,
Mbak.”
“Jurusannya apa?”
Sekadar jurusan pun
aku tak tahu. Dulu memang baru kelas satu. Jadi, ia pasti juga belum
penjurusan. Kini, semua seolah terlambat saja. Semakin lama, jejaknya semakin
tak kentara. Terhapus oleh guyuran air di musim hujan yang masih sering datang.
Belaiannya,
terkadang masih terasa lembut kala gerimis datang. Di ruko tempatku berteduh,
tak ada yang bisa kulamunkan sedalam aku melamunkannya. Jika dilihat dari luar,
mungkin wajahku sudah seperti orang yang dililit hutang.
Bertekuk-tekuk tak
karuan, kusam dan tak peduli lagi dengan kepanasan, juga lapar sekali rasanya
perutku ini. Hendak menerobos gerimis untuk sekadar mencari nasi; aku sudah
terlalu lelah.
Mulai dari jam sembilan
pagi hingga pukul empat sore ini, aku belum juga makan siang. Alhasil, perutku
melakukan demonstrasi besar; menyuruhku segera turun ke warung sambil
meneriakkan yel-yel ‘makan, makan, makan!’
Baiklah. Ada fried chicken di tepi jalan. Cukup jauh
sebenarnya karena harus menyeberang jalan. Bukan jauh tapi agak lama karena
harus menunggu para mobil dan motor melintas dulu.
Gara-gara
keseringan kena gerimis kecil, kepalaku jadi agak pusing. Tiap rebahan di
rumah, kurasakan tubuhku juga meriang. Tapi, tentu yang demikian itu tak boleh
kujadikan alasan untuk berhenti. Tidak akan pernah sama sekali!
“Beli apa, Mbak?”
“Paha ayam berapa,
Bu?”
“Kalau paha lima
ribu.”
“Kalau sayap?”
“Sayap empat ribu.”
“Pahanya dua, Bu.”
Masih hangat.
Kunikmati fried chicken jalanan ini yang masih
hangat. Seperti tak bertemu dengan makanan selama satu tahun rasanya. Kulahap
dengan cepat satu per satu paha ayam yang berada di atas pangkuanku.
Kehangatan yang
berhamburan dengan gerimis kecil yang mengguyur Peterongan sore ini, membuat
aroma fried chicken kian membara di
penciuman. Menyegarkan kembali otakku yang telah mengejang saking seriusnya.
Jika ditambah saus
jadi lebih nikmat. Untung tak ada banyak orang di ruko yang kujadikan tempat
berteduh ini. Paling-paling hanya tukang becak yang mangkal di tepi jalan.
Sedang ruko ini saja tutup tak berpenghuni. Lumayan tenanglah jika dijadikan kawasan
persinggahan sejenak sambil menunggu hujan reda.
Ketika bedug
maghrib mulai berhamburan datang dan hujan belum reda-reda juga, aku nekat untuk
pulang saja. Tak ada taksi lewat, angkot pun jadi. Perut kenyang, pikiran
tenang dan aku pun siap untuk bertarung lagi esok hari.
Sampai mati pun,
aku akan tetap mencarimu, Arya!