Cerbung
Episode ke 13...
Oleh Sofi Muhammad
Dunia ini, kata
Mbak Dian, laksana terminal yang hanya tempat persinggahan sementara. Baik jiwa
maupun raganya, semua mutlak tak ada yang tetap. Maka, ketika seandainya sebuah
terminal itu didatangi atau ditinggalkan pergi, itu memang sudah seharusnya
demikian.
Jika terlalu lama
menangisi pengunjung yang telah pergi, menghabiskan tenaga saja. Orang-orang
itu hanya sesekali saja butuh terminal. Bisa untuk alasan refreshing hendak ke luar kota atau sekadar jalan sebagai sarana
untuk berpindah haluan.
Entah untuk alasan
apa pun itu, pengunjung terminal tak mungkin hanya seorang saja dalam sekian
waktu lamanya. Bukan lantaran takut bosan tapi memang sudah disetting demikian. Baik ingin atau tidak,
ia sendiri pun tak mampu menentukan.
Hukum alam jauh
lebih kuat menyeret segala yang ada. Baik di terminal itu, bahkan sekadar bumi
perkemahan yang berada di puduk bukit sekali pun. Meski tak pernah mau hidup
seperti itu, tapi lagi-lagi, apalah daya. Terkadang, ada memang yang sudah
diatur untuk menjadi kawasan pribadi atau milik umum.
Jika begitu maka
berani kusalahkan Mbak Dian yang pernah bilang bahwa ia mampu hidup meski tanpa
bantuan Mami. Hidupnya, apa yang dimaksud dengan ia hidup?!
Bagiku, mampu hidup
adalah mampu memilih sedang ia tak mampu. Benar bahwa ia telah bebas dari cengkeraman
tangan-tangan Mami tapi ia tetap tak bisa lepas dari kungkungan tangan-tangan
lain yang tak beda perawakannya.
Hidupnya hanya
terpatok di tempat yang satu itu. Tak ada jalan untuk menggeserkan diri menuju
tempat yang lebih teduh atau yang hangat barang kali. Namun, segalanya hanya
terfokus dalam satu bidang miring yang mengguyurkan tubuhnya dalam sekali
dorong.
“Aku sudah tak
peduli dengan apa pun, Ras.”
“Kenapa bisa tak
peduli?”
“Karena tak ada
yang peduli denganku!”
“Aku peduli sama
Mbak Dian.”
“Hah, kamu ini
belum tahu apa-apa.”
Sampai kapan aku
harus menjadi seseorang yang tak tahu apa-apa. Memang benar bahwa tak ada
kemampuan dari diriku untuk menghasilkan uang sendiri. Namun, jauh-jauh hari
hatiku telah mampu merasakan.
Jemari-jemari
tangan ini meski tak kokoh namun tetap sempurna lima. Sedari kecil, baik Ibu
atau Mami, mereka semua telah mengajariku cara bekerja. Tentu saja bekerja
batin yang telah terbiasa tak tenang tiap kali menemui kegaduhan.
Suara-suara itu,
lambat laun telah mengebali semua dinding yang ada di diriku. Benar-benar
mengebalinya hingga menjadi sekokoh dan sekeras ini. Tapi, bukan berarti tak
mampu retak. Meski tak lagi butuh cat pelapis karat, aku tetaplah sebuah
dinding yang tak sekuat baja.
“Tak boleh ada
tangis-tangisan lagi, Ras.”
Aku tak menjawab.
“Menangis sama juga
bahwa kau telah dikalahkan!”
“Siapa?”
“Dunia tentu saja.”
Sedari jauh-jauh
masa, Mbak Dian telah berperang melawan dunia. Ia yang begitu kejam merampas
secara paksa sifat manusiawinya, enak benar jika tak dilawan. Sekali diam, maka
dunia akan semakin bernafsu untuk menginjak-nginjak!
“Camkan itu
baik-baik, Laras!” tandasnya. “Percayalah! Aku tak mungkin membohongimu.”
Aku masih hanya
diam.
“Lelaki kalau
dipercaya itu malah nglunjak!” katanya. “Jadi, sekalian saja, mainkan mereka
ganti!”
Padahal, ini toh
belum kusinggung sama sekali mengenai Arya. Jika ia sampai tahu tentang ini
pula, maka akan semakin dimakinya aku. Benar bahwa segala keputusan
dikembalikan padaku tapi tetap saja ia akan terlebih dahulu tak berhenti
memperingatkanku.
Mengenai ini,
sering sekali aku hendak bercerita. Arya tidaklah sama dengan yang lain. Meski
ia sama-sama lelaki tapi lelaki yang berbeda. Tak pernah ada yang seperti dia
sebelumnya. Satu-satunya lelaki yang tak berpotensi melancarkan aksi KDRT
adalah dia, aku yakin itu.
Baik KDRT lahir
maupun batin, ia tak mungkin melakukannya. Yang ia lakukan hanya demi
membahagiakan. Sayang sekali kini.
Mengingatnya,
sebenarnya hanya mampu menyisakan kegetiran. Yang sebaik dia kenapa pula harus
dipisahkan dariku. Meski konyol tapi jujur, aku pernah membayangkan suatu hari
bersamanya. Dalam rumah gedong milik kami pribadi, kami hanya berdua saja.
Mimpi.
Iya barangkali.
Tapi kini, aku tak lagi di rumah Mami. Peraturan di sini tak seketat di sana.
Sekadar bermimpi di siang bolong, Mbak Dian tak akan sempat mengamati.
Aku pun sedang
belajar berpura-pura. Sambil memasak, kucuri-curi kesempatan untuk
melamunkannya. Membayangkan kembali senyumnya yang telah rapi kusimpan. Hingga
mencoba mempraktikkan cara-caranya kala beratraksi di medan dapur.
Saat berada di
taman, bayang-bayangnya yang menggunakan gunting pemotong rumput itu masih bisa
kulihat jelas. Kala aku mencoba memotong beberapa potong di halaman, tanganku
ini seolah mampu bersentuhan dengan tangannya yang tiba-tiba muncul di
sebelahku. Sambil tersenyum tapi kemudian segera berlalu.
Mengejarnya ke
kahyangan, aku tak pernah mampu. Yang terjadi malah hanya titik-titik
kesengsaraan yang berguguran melalui kelopak mataku. Menjadikanku begitu rindu
sekaligus merana dalam sekali waktu.
Dia, entah
bagaimana pun keadaannya kini, aku semakin tak kuat jika terus seperti ini.
Mungkin sekali-kali memang harus kutemui. Sekadar mencari kepastian akan masih
hidup atau sudah mati dia.
Meski taruhannya
nyawa jika Mami atau ajudannya itu sampai melihatku tapi tak apa. Aku toh sudah
terlanjur mati, jiwaku. Walau hidup pun, kurasa tak kan berguna jika
terus-terusan tak bisa lepas dari bayang-bayangnya.
Matanya, hidungnya,
dagunya, segalanya yang ada di dirinya sudahlah cukup untuk membuatku tegak
berdiri. Jika ia sampai benar-benar mati maka perlulah kurencanakan sesegera
mungkin pemakaman bagi diriku sendiri.
Tapi, mungkin aku
pun tak akan tega.
“Semangat, Laras!”
katanya selalu di waktu dulu kala aku lagi-lagi menangis usai Mami memarahiku.
Begitu mendengar
ucapannya, aku kembali tenang. Seolah itu merupakan daya imun yang mengebaliku
dari berbagai serangan jahat dari Mami, juga kekejaman dunia ini. Tapi, kini
tak ada lagi imunku itu.
Lagi-lagi, yang
masih tersisa hanyalah fatamorgana dari segala tingkah laku Arya. Apa memang
hanya ditakdirkan untuk memiliki bayang-bayangnya saja sementara dunia ini
terlalu nyata untuk selalu menawarkan serangan balasan.