Cerbung Episode ke 15…
Oleh Sofi Muhammad
gadismumetbanget.blogspot.com |
Taksi yang
kutumpangi terus saja menerobos kekacauan jalan raya seputar Semarang.
Kuabaikan pertanyaan Pak Sopir yang berkali-kali menanyaiku hendak ke mana.
Terkuncilah sudah mulut ini rapat-rapat, tak sanggup mengeluarkan sepatah kata
pun.
Malas, sebal, juga
hendak berteriak rasanya. Pikiranku sangat terombang-ambing. Baik neraca hitam
atau putih, tak ada yang mampu menimbang sebetapa pentingnya seuntai mahkota
yang menaungi hatiku saat ini.
Arya memang masih
hidup namun tak jelas di mana ujungnya sekarang. Usai penembakan yang dilakukan
bebandot sialan itu, Arya sempat tergeletak hampir seminggu di rumah sakit.
Setelah sembuh, tak ada lagi yang mengetahui keberadaannya, beserta ibunya,
lagi.
Mbak Sari menduga
bahwa semua itu memang sudah direncanakan Mami. Demi menghilangkan kekacauan
yang lebih parah jika suatu saat mereka, Arya dan si Bangkotan Tua, berpapasan,
maka Mami lebih memilih untuk menyingkirkan Arya sekeluarga.
Sekarang, tinggal
mencari Arya, tapi benar-benar tak tahu harus mencarinya di mana. Terkadang,
dunia ini terasa sempit, sesempit dulu saat pertama-tama ia melarikan diri.
Seolah seluruh isi bumi ini tak luput dari pengintaian Mami.
Tapi, lihatlah kini
yang berubah seratus delapan puluh derajat. Meski telah kuputari hingga
menaikkan begitu tinggi rating argo taksi yang kutumpangi tapi tetap saja.
Arya, dia tak ada di mana-mana.
Tiap kali ada
sesosok yang mirip dia, kepalaku langsung reflek menyelidik. Tapi, begitu
semakin dekat taksi menghambur, ia sudah berganti wajah. Secepat itu berubahnya,
seperti pesulap saja.
Jantungku ini
antara ada dan tiada. Saking cepatnya berpacu hingga terkadang terasa tak
berdetak sama sekali. Terbang bersama hembusan udara dingin yang dibawa AC taksi.
Meski kaku leherku
tapi tetap tak berhenti kudongakkan kepala bahkan tanpa berkedip kalau perlu.
Di sepanjang jalan seputaran Semarang, aku tak hendak kecolongan. Aku sangat
yakin bahwa Arya tak mungkin keluar kota.
“Ini jadinya ke
mana, Non?” tanya Pak Sopir lagi.
Matahari kian
menyurut di belahan Barat sana. Sudah kelelahan pula leher beserta mataku yang
kurasakan seharian telah bekerja. Argo cepat sekali naiknya. Dalam hatiku
berkata, Mbak Dian pasti marah nanti.
“Pulang, deh, Pak.”
Taksi yang kutumpangi
ini sudah langganan ketika Mbak Dian mabuk dan tak sanggup nyetir sendirian.
Jadi, tak perlu kujelaskan di mana alamatku pun, si Sopir pasti sudah tahu.
Dalam batin, aku
terus berharap semoga saja Mbak Dian belum pulang. Aku hanya tak pandai membuat
alasan jika sampai ketahuan seharian ini kelayaban. Sementara itu, Mbak Dian
juga tahu kalau aku ini tak punya teman. Tak mungkin juga secara tiba-tiba, aku
begitu rindu untuk menggosip dengan teman-teman SMA-ku.
“Pak, nanti jangan
bilang-bilang Mbak Dian ya kalau aku datang ke rumah yang tadi,” pesanku.
“Lha, kalau
ditanya, saya jawabnya apa, Non?”
“Bilang saja kalau
saya jalan-jalan muterin Kota Semarang.”
“Oh, siap-siap!”
Setibanya di rumah,
Mbak Dian ternyata benar-benar sudah pulang. Dilahapnya fried chicken yang kelihatannya masih hangat. Berhubung perutku ini
meililit, maka kudekati dia. Tanpa pikir panjang, langsung kucomot satu paha
ayam yang telah melelehkan ludahku.
“Dari mana saja?”
tanya Mbak Dian setengah cuek.
Aku pun harus
berusaha secuek mungkin agar jangan sampai Mbak Dian curiga.
“Muter-muter,”
jawabku enteng, “bosen di rumah terus.”
“Oh.”
Sejenak, kami
terhipnotis dalam diam oleh kenikmatan fried
chicken di tangan kami masing-masing. Tak terasa, gelagatku jadi terlihat
seperti setengah melamun. Keberadaan Arya yang tak jelas di mana itu masih
menghantui pikiranku saja.
Sebenarnya, aku pun
tak suka galau. Memikirkan sesuatu yang tak jelas itu sungguh menyiksa. Tapi,
apa mau dikata jika manusia memang sering dihadapkan pada ketidakpastian. Dan
aku, tak hendak menikmati ini lama-lama.
Tentu saja harus
segera dilaksanakan jika tak ingin kepanjangan dililit rasa penasaran. Keesokan
harinya, ketika Mbak Dian telah beraktifitas, aku kembali beraksi. Tak mungkin
aku menyerah begitu saja ketika baru saja aku memulai.
Selama ada waktu
dan Mbak Dian tak menghalangiku, aku tak akan pernah berhenti. Jika tidak, aku
pasti mati penasaran lantaran tak sanggup menemukan. Seperti apa dia sekarang,
aku hanya ingin tahu itu. Juga bagaimana keadaannya, aku pun harus mencari tahu.
Mbak Sari bilang,
hampir-hampir tangan yang kena tembak itu terancam diamputasi. Jika tak ada
darah lagi yang mengalirinya, jelas sudah pasti. Tapi, seolah keajaiban datang
dan keesokan harinya pulih lagi.
Jika demikian
keadaannya pasti sangat sakit rasanya. Aku seolah ingin juga merasakan sakit
itu, gantian merawatnya yang barangkali sedang sekarat; tentu juga dengan tanpa
bayaran sebagaimana yang sering ia lakukan padaku dulu.
Kembali, mataku ini
beredar ke segala penjuru. Usai mengitari sepanjang jalan utama, aku memutuskan
untuk merambahi trotoar. Tak ada rasanya sudah. Kakiku otomatis saja melangkah
mengikuti jalan setapak yang melajur di sepanjang jalan.
Beribu-ribu mobil
terkadang ingin sekali kubuang saking padatnya hingga menghalangi pandangan.
Sayang sekali karena satu pun, aku tak punya foto Arya. Jika tak ada Mbak Dian,
pastilah sudah kulakukan iklan di TV demi mendapatkan pembantuku kembali.
“Mau makan apa,
Mbak?”
Hari sudah meninggi
dan keringat yang membanjir di pelipis juga sekujur tubuhku ini telah
menguapkan sekian juta energi. Kumasuki warung kecil di tepian jalan.
Jarang-jarang aku mau makan di tempat yang ada genangan airnya –sisa-sisa
hujan. Berhubung demi Arya, maka kini aku mau.
Tak ada larangan
juga sebenarnya jika hendak makan di restoran. Hanya saja, aku sedang tak tega
begitu mengingat luka tembak Arya. Tak mungkin sanggup jika aku enak-enakan
makan di tempat mewah sementara dia, barangkali, sedang kelaparan di pinggir
jalan.
Jika Mbak Sari
bilang bahwa kemungkinan besar Mami mengusirnya maka pasti tak tentu lagi
hidupnya. Ibunya, ke mana juga ia hingga tak ada kabar. Aku tahu bahwa Arya tak
mungkin mampu menelantarkan ibunya itu.
Tapi, jika seandainya
Arya di jalanan, ibunya pasti tak ada di sana. Paling tidak, dicarikanlah
kontrakan kecil yang mana menggunakan uang sogokan dari Mami sebagai modal.
Ketika kemarin
kutilik rumah pribadinya yang ada di belakang terminal, sudah terkunci rapat
dan gembok itu pun sudah karatan. Begitu pula pagar besi setinggi paha yang kini
telah dirambati waradan. Rumah kecil
itu nyatanya tak mampu memberitahu apa-apa. Hanya diam terpekur menatapku nanar
yang tergunduk layu meninggalkannya.
Akh, Arya, kamu di
mana?