Cerbung Episode ke 20…
Oleh Sofi Muhammad
Aku baru masuk
rumah ketika kupastikan benar bahwa Rio sudah pulang. Usai kejadian yang hampir
membuatku menyesal seumur hidup itu, aku jadi lebih berhati-hati lagi. Semakin
sering Rio hendak mampir, semakin cepat aku menutup pintu rapat-rapat.
Tak mungkin jika
sampai kubiarkan ia masuk. Jika sudah sampai di dalam, aku tak mungkin kuat
untuk menyeretnya keluar. Tenagaku ini, tentu tak bisa menandingi tenaganya yang
memang lebih rajin fitness dari pada aku yang tak pernah.
Males juga sih.
Fitness, apaan itu?
Mending tidur di
rumah, atau masak sekalian untuk menostalgiai sebanyak mungkin kenangan yang
tersisa bersama Arya dulu. Di dapur, hanya tempat itu yang hingga detik ini
lebih sering kukunjungi dari sekian banyak bagian rumah Mbak Dian yang lain.
Wilayah kedua
adalah taman. Siapa lagi memang yang mau menyapu guguran para daun yang saban
hari datang. Tak tega juga jika sampai kutinggalkan sejengkal pun pekerjaan
untuk Mbak Dian yang selalu pulang dengan wajahnya yang sudah kelelahan.
Tapi, aku toh
menikmatinya juga. Hitung-hitung, buat pengalaman. Jika menikah nanti, aku juga
ingin memiliki banyak bunga dan pohon. Apalagi Arya suka masak. Selain yang
kedua itu, aku juga ingin menanam sayuran. Biar bisa memetik langsung jika dia
sedang ingin menyiapkan sesuatu untukku. Indahnya…
Aku juga tak boleh menjagakan masak-memasak darinya terus.
Aku inginnya dia juga memuji masakanku yang sekarang sudah sering mendapat
pujian dari Mbak Dian. Sudah tak sabar jadinya. Tapi, apa dia masih suka masak
seperti dulu?
Ini sudah tahun keempat
perpisahanku dengan Arya. Sudah selama itu, apa dia masih tetap seperti yang
dulu. Apa dia juga masih sendirian saja. Di dunia ini, susah rasanya menemukan
lelaki yang tak playboy. Dulu, aku
yakin jika Arya adalah bagian dari yang sedikit itu. Tapi masalahnya, kami
sudah tidak bertemu sangat lama. Apa dia masih selalu memikirkanku. Atau,
justru aku memang hanya ke-GR-an.
Sejenak,
kuperhatikan berita di TV. Seorang pemuda kedapatan memperkosa anak gadis
tetangganya usai ia menegak minuman keras sambil mengonsumsi narkoba. Aku tak
paham jenis-jenisnya. Tapi sepertinya, itu jenis pertengahan yang setahuku
cukup mahal.
Aku mulai
penasaran. Bagaimana rasa narkoba jika mengonsumsinya. Jika orang-orang itu
sebegitu enjoy, tentu nikmat. Tapi,
separah apa memang bahayanya. Sedang minum-minuman keras kutahu juga diperdagangkan
bebas di Semarang ini.
Siapa bilang susah
mencari. Meski aku tak tahu tempatnya, tapi Mbak Dian tak pernah kesulitan atau
harus diam-diam saat butuh dan ingin membeli. Di bar, diskotik, bahkan tempat
karaoke, semua menyediakan. Tak ada pengaruhnya juga itu dilarang atau tidak!
Bahkan yang
melarang sendiri saja ikut mengkonsumsi. Kata Mbak Dian, polisi itu tak ada
yang waras. Ikut tergila-gila dengan mata hijaunya saat melihat alkohol dalam botol.
Jika sedang ada acara di depan TV, mereka asik memamerkan aksi penggerebegan
tempat hiburan malam yang menyimpan ribuan botol minuman keras. Tapi, begitu di
belakang layar, malah diminum sendiri dengan ganyang.
Seolah sudah
menjadi rahasia umum namun aneh juga karena TV-TV masih juga mau meliput berita
palsu itu. Mungkin sedang tak ada berita barangkali. Semua orang terlalu sibuk
dengan kepentingan masing-masing. Yang mau dijadikan narasumber tentu hanya
mereka yang memiliki kepentingan untuk cari muka. Selebihnya, berlalu bersama
angin.
Hp-ku berbunyi.
Satu pesan masuk. Dari Rio.
Di rumah nggak?
Tak hendak kujawab.
Rumah sudah kukunci rapat-rapat sejak pagi dan aku belum juga keluar bahkan
sampai sudah sesiang ini. Memang kurang kerjaan tuh orang. Ah iya, ini kan hari
Minggu. Tentu tak ada jadwal kuliah dia.
Memikirkannya, aku jadi
semakin takut. Bukan masalah seberapa kuat tenagaku untuk bisa melawannya.
Tapi, seberapa kuat tenagaku untuk bisa melawan diriku sendiri. Dia yang
seperti itu toh sudah lama aku tahu.
Masalahnya, jiwaku
mulai goyah. Menikmati kehangatan seorang lelaki, siapa yang tidak mau. Apalagi
aku sudah sangat kesepian sejak jauh-jauh hari. Adanya Rio mau tidak mau juga
membantu sedikit menghangatkanku.
Aku ke rumahmu, ya?
SMS-nya lagi yang
juga tak kubalas.
Setelah kejadian
itu, kurasa Rio akan sangat lebih berani. Apalagi, ada sangat banyak kesempatan
ketika Mbak Dian semakin jarang di rumah. Aku sendiri bingung hendak berlindung
pada siapa. Sementara Mbak Dian yang sempat kuceritai masalah ini malah cuma
tersenyum dan menyalahkanku.
“Wajarlah kalau Rio
seperti itu.”
“Tapi, aku nggak
mau, Mbak.”
“Kenapa?”
“Aku nggak cinta ma
dia,”jawabku, “Dia itu playboy,
Mbak.”
“Semua lelaki itu playboy, Ras. Gak ada yang setia!”
Hingga detik ini,
Mbak Dian belum tahu jika aku mencintai Arya. Iyalah, perasaan yang teramat
dalam ini apalagi namanya jika bukan cinta. Aku bahkan rela berpanas-panasan
hanya untuk mencarinya. Jika alasanku sebelumnya adalah untuk menebus rasa
bersalah, rasanya tidak mungkin juga aku mati-matian mencoba setia.
Semakin lama, aku
semakin rindu. Tak ada Arya, aku takut jika diriku ini semakin terbuai dengan
pesona Rio. Dia toh selalu baik padaku dan itulah masalahnya. Cepat atau
lambat, aku pasti luluh dalam pelukannya.
Jika sudah sampai
separah ini perasaanku, aku jadi ragu. Hendak melanjutkan pencarian atau memang
cukup sampai di sini saja. Lalu, bagaimana jika yang dikatakan Mbak Dian itu
benar. Pasti hancur hatiku jika Arya sendiri sudah berkali-kali bercinta dengan
banyak wanita.
Kerinduan ini
sungguh melemahkanku. Aku bingung dan berharap bahwa tiba-tiba SMS yang
bertubi-tubi itu berganti nama, bukan Rio tapi Arya. Pasti tak kan galau lagi
rasanya. Tapi, Arya terlalu dalam bersembunyi. Membuatku sangat kesulitan
selayaknya mencari seekor semut dalam tumpukan jerami!
Meski hati kecil
sedikit melawan tapi hati besarku hendak menerima Rio sebagai tamuku. Ciuman
itu, belaian itu, aku mulai merindukannya. Ingin menikmatinya lagi darinya.
Sangat sulit bagiku jika terlalu lama menahan, apalah ini namanya.
Kini, hanya tinggal
nama Rio yang masih jelas terpampang di layar HP. Dengan setengah jenuh,
kulempar saja HP sialan itu. Kunaikkan volume musik yang mengalunkan lagu Five Minutes keras-keras dalam kamar.
Kurebahkan diri dan mencoba untuk tidur sambil membayangkan lagi ciuman Rio
yang bertubi-tubi.