Cerbung Episode 10..
Oleh Sofi Muhammad
Usai
perjumpaannya dengan om-om yang kuketahui bernama Sastro itu, Mbak Dian semakin
sering keluar. Ke mana tepatnya, ia tak pernah bilang. Aku sendiri juga segan
untuk mencampuri segala urusan.
Memang
tidak selalu dengan Om Sastro saja kalau keluar. Terkadang juga dengan om-om
lain yang sama sekali baru menurutku. Meski jarang tapi pernah juga kudengar
percakapannya dengan Mas Hadi, lelaki yang kutahu adalah satu-satunya pacar
Mbak Dian.
Kemudian,
Mbak Dian semakin jarang pulang. Terkadang satu hari tapi bisa juga tiga hari,
bahkan bisa juga sampai seminggu. Dalam hati ingin ikut tapi pasti hanya bisa
merepotkan.
“Jangan
lupa dikunci semua pintunya kalau mau tidur,” begitu saja yang ditinggalkan
Mbak Dian sebelum pergi.
“Iya,
Mbak.”
“Kalau
uangnya habis, jangan sungkan untuk minta, nanti tak transfer.”
“Iya,
Mbak.”
“Oh,
iya. Lili-ku jangan lupa disiram, ya…”
Tak
hanya lili tapi juga Mbak Dian yang kurasa perlu disegarkan. Bagiku yang kerdil
ini, dia tak selayaknya diperlakukan demikian. Para bebandot itu kutahu hanya
butuh permainan. Mbak Dian juga sih sebenarnya. Tapi, aku tak suka melihatnya
diperlakukan demikian.
Saat dia
pergi itu, aku tak harus melakukan apa. Sesekali memang kuladeni kedatangan Rio
yang katanya untuk bersilaturahmi pada tetangga. Tapi, hingga saat ini,
belumlah kuizinkan ia masuk kala Mbak Dian tak ada di rumah.
Entahlah.
Hatiku ini masih juga belum bisa menerima kedatangan lelaki baru. Aku juga
tidak tahu apakah ini perasaan cinta atau hanya rasa bersalah yang teramat
besar. Biar bagaimana pun, nyawa Arya melayang karena aku. Bagaimana
perasaannya nanti kala tahu bahwa aku malah berfoya-foya dan melupakan semua
pengabdiannya.
Kukira
memang mengabdi dia. Sekali pun, aku tak pernah membayar Arya kala kusuruh ia
membuatkan secangkir kopi atau teh. Apalagi saat berkali-kali kubilang bahwa
aku ingin mencicipi masakannya.
“Tak
apa, aku malah suka kalau ada yang mau makan masakanku.”
“Kalau
begitu, sering-sering, ya. Aku pasti selalu mau.”
“Boleh,
boleh.”
Dia
memang selalu antusias seperti itu. Tiap aku tak bersemangat, dia pasti datang
kemudian membawa sesuatu yang mampu mencairkan keteganganku. Tak banyak dan tak
perlu keluar duit banyak.
Yang
paling manjur ia tawarkan untuk menyenangkanku adalah cerita. Apa saja pasti
akan dia ceritakan demi agar aku bisa sejenak tertawa lepas. Entah itu masalah
guru-guru killer di sekolah, satpam
yang galak, atau sekadar pemulung di jalan raya yang mendapatkan sebungkus
tulang-tulang manusia.
“Nggak
percaya, ah,” kataku, “kamu pasti bohong, deh!’
“Sumpah!
Jujur,” jawabnya, “itu di dalam tanah makam, ha-ha.”
“Ih,
nggak lucu!”
“Lucu
ah,” katanya mencoba mencandaiku, “senyum dulu dong…”
Bukan
lantaran mendengar ceritanya barangkali. Aku pun tahu bahwa ia kurang pandai
meramu cerita lucu, atau horor. Tapi, justru keluguannyalah yang membuat segala
yang diutarakan itu benar-benar masuk dalam hati.
Modus
itu, aku tak pernah menemukan adanya dia di matanya.
***
Pagi
ini, Rio berkunjung ke rumah ketika Mbak Dian lagi-lagi tidak pulang. Di teras,
biasanya kami menghabiskan waktu dengan mengobrol saja. ketika ia mulai
mengatakan bahwa aku cantik, aku mulai muak.
Aku
sadar siapa diriku ini. Dia yang anak kuliahan sudah pasti hendak berserius
dengan yang setingkatnya dia. Bukan masalah materi dalam hal ini. Hanya saja,
status itu tak pernah bisa diabaikan dalam kondisi sekarang ini.
“Keluar,
yuk!” ajaknya.
“Ke
mana?”
“Ke mana
aja. Nggak bosen kamu di rumah terus?”
“Nggak,
biasa aja.”
Meski aku
sangat bosan tapi belum ada keinginan untuk jalan
dengannya. Meski belum terbukti benar dugaanku padanya tapi aku juga belum bisa
percaya. Mungkin aku mulai percaya dengan perkataan Mbak Dian bahwa lelaki itu
di mana-mana sama saja, terkecuali Arya.
“Bagus,
bunganya,” kata Rio sambil memetik setangkai anggrek di teras.
Beberapa
kali, ia memang telah mondar-mandir di sana. Sekadar untuk memegangi daun,
menilai ranting-ranting yang menggelantung terlalu rapat, atau hanya untuk
bersandar di pohon mangga yang tak terlalu besar.
“Ini,
kamu sendiri yang merawat?”
“Ya,
kadang sama Mbak Dian juga.”
“Sebenarnya,
aku suka bunga juga, lho.”
“Ya,
ambil aja, nggak papa.”
Aku sendiri
tidak pernah tahu ke mana arah pembicaraan kami. Hingga si Rio itu kuamati
memang kelelahan mencari topik. Sedang aku ini hanya menjawab dengan sesingkat
dan sepadat mungkin.
Ketika
ia ngajak aku masuk untuk sekadar nonton TV bareng, aku selalu menolak. Bukan
dengan alasan yang erotis tapi sederhana saja; lagi males nonton TV.
Saat jam
menjelang makan siang datang, ia juga tak ragu untuk mengajakku ke tempat mana
saja yang aku mau. Tapi, lagi-lagi kulontarkan alasan yang sama. Aku ini,
entahlah. Mungkin terlalu muak dengan segala modus yang coba ditawarkan oleh
lelaki.
“Lha
kamu maunya apa?”
“Nggak
mau apa-apa?”
“Ya,
apalah, gitu?!”
“Nggak
mau apa-apa, beneran, deh!”
Mungkin
suatu saat nanti aku bisa juga termakan oleh segala rayuannya. Apa lagi bagi
aku yang sangat kesepian ini, tentu mudah saja bagi benda asing untuk
bertengger di dalamnya. Tapi, untuk saat ini, kurasa aku masih mampu
membendung.
Sembari
meladeni segala omongan Rio, sesekali kudonggakkan kepala ke segala penjuru di
luar gerbang. Harapan terbesarku adalah mendapati Mbak Dian pulang. Entah
dengan siapa dan dari mana, itu tak terlalu penting. Tak ada oleh-oleh pun aku
tak keberatan. Asal Mbak cepat pulang!
Ketika
dia pergi itu, pikiranku jadi ke mana-mana. Tak hanya terbersit cerita konyol
Arya yang menemukan mayat wanita di tong sampah tapi juga sampai pada berita
maraknya penderita HIV-AIDS yang
semakin banyak bermunculan di layar kaca.
Pulanglah,
Mbak.
Bersambung
Episode ke 11..
Baca juga: