Cerbung
Episode 5
Oleh Sofi Muhammad
bharatanews.com |
Dalam setengah
tidur, mampu kurasakan ada yang membekam pernafasanku. Ketika benar-benar
terbangun, aku merasa sangat kecewa lantaran kini sudah berada di kediaman Mami
lagi.
Seolah semua
perjuanganku yang teramat sulit itu sia-sia. Mami benar-benar mampu
mengalahkanku. Di tangannya, aku selayak kelinci dalam kerangjang listrik. Jika
benar masih mau hidup maka tak usahlah berusaha menyengatkan diri dengan
mendobrak ke tepian.
Brak, brak, brak!
“Woi, buka!”
Ada yang sedang mengobrak-abrik
pintu gerbang. Kuintip jam dinding di kamar. Pukul tiga lewat tiga puluh pagi.
Aku bahkan baru
merasa beberapa detik saja terlelap. Tapi, mendengar suara gebrakan pintu
gerbang yang tak ada belnya itu, reflek saja mataku ini terbangun.
Brak, brak, brak!
“Buka, Sialan!”
Sebagaimana
biasanya, tugasku adalah membukakanya. Di luar sana sudah ada Mbak Sarah. Tak
salah lagi, dia pastilah baru saja berkencan dengan lelaki berhidung mancung
yang selalu mengendarai mobil silver tapi selalu kulupa namanya itu.
Dari jendela
kamarku yang berada di lantai dua, mampu kusaksikan sebetapa menjulang tubuhnya.
Dengan sedikit jambang yang menyebar, ia terlihat bagaikan aktor Bollywood yang
beberapa diantaranya lumayan kukagumi.
“Mirip Sahid
Kapoor, Mbak,” kataku pada Mbah Sarah beberapa hari yang lalu ketika
kukomentari pacarnya itu.
“Siapa itu?”
“Aktor India, he,
he.”
“Ah, kamu. Kena
juga sama virusnya Norman.”
Rumah Mami ini
benar-benar strategis; dikelilingi oleh tiga pabrik garmen yang setiap satu pabriknya
itu mampu menyerap hingga ribuan tenaga kerja. Biasanya, supervisornya adalah orang India yang memang telah terpercaya
kemampuan mereka meracik kain.
“Lama banget, sih!”
bentak Mbak Sarah setelah ia kubukakan pintu.
Kupapah saja tubuh
mungilnya yang telah sempoyongan. Sebisa mungkin memang tak kuhiraukan setiap
perkataannya. Jika kubantah, pasti yang keluar akan jauh lebih parah. Bukannya
sakit hati, aku hanya tak tahan jika lebih lama lagi menghirup aroma alkohol
yang keluar dari lubang mulutnya.
“Bye, bye…Rohan …,” sempat-sempatnya ia melambaikan
tangan yang senantiasa dihiasi beberapa gelang mas itu.
Belum juga sampai di
depan pintu, tangan Mbak sarah melesat. Bahuku ini mungkin jauh lebih lemah
dibanding kekuatan Mbak Sarah. Tubuhnya dua kali lebih berat daripada saat ia
dalam kedaan normal.
“Eh, sengaja, ya?!”
matanya melotot tajam ke arahku.
Aku tetap tak
peduli. Selebihnya, kutinggalkan saja ia di depan pintu. Sambil berlalu, masih
kudengar mulut beraroma alkohol itu berkomat-kamit. Selayaknya penghuni baru di
rumah sakit Pedurungan, ia
bercakap-cakap dengan angin.
Sementara itu, aku
kembali ke atas. Terburu-buru sekali, kubuka sedikit pintu jendela kamar. Dari
atas sini masih mampu kunikmati secara bebas wajah si lelaki India itu. Jambang
tipisnya, tubuh menjulangnya, serta hidung mancung itu membuatku sedikit mau
mengubah pikiran.
***
Mimpi indah ya seperti itu. Oleh karena tak mau lagi
tertipu, maka kucubit sendiri pergelangan tanganku.
“Aw, sakit.”
Kali ini, jelas
pasti bukan mimpi lagi.
Tak tahu aku pukul
berapa ini. Yang pasti kini matahari telah cukup terang menyilaukan mata.
Untung halte ini menghadap ke Utara; tak sangat menantang matahari, tentu saja.
Ketika kubuka mata untuk yang pertama kali, telah ada beberapa pasang kaki yang
menginjaki halte dekat swalayan di jalan Majapahit ini.
Untung ini bukan
halte di samping Betratek, salah satu pabrik garmen yang tak jauh dari kediaman
Mami itu. Jika halte ini adalah itu, maka aku pasti sudah dijejaki puluhan
pasang kaki yang bakalan mengusirku secara paksa lantaran mengganggu. Tak hanya
memenuhi sebanyak kursi yang tersedia di dalam halte tapi juga sampai ke
liang-liang anak tangga yang menggelantung disamping kanan-kiri.
“Sial!” kuumpat
sendiri Blackberry-ku yang mati
kehabisan tenaga.
Sempat kepikiran
untuk beli baru yang bukan Blackberry. Tapi
setelah kupikir-pikir, untuk apa. Tak ada yang hendak kuhubungi satu nomor pun.
Usai merapikan
wajahku sekenanya, aku berpikir lagi. Mau cuci muka, swalayan itu malah belum
buka. Sedang kulit ini telah mulai lengket. Pagi-pagi sekali biasanya aku sudah
mandi untuk sekolah.
Sekilatan, kulihat
tas bergambar Barbie milik Dina, salah satu teman sekolahku. Tas itu berlalu
bersama angkot jurusan Karangayu yang baru saja lewat di depan mataku.
Aku beserta beberapa
teman yang lain terkadang membicarakan si Dina itu. Tak jelas apa maksudnya.
Tapi, jika sudah seusia ini tapi masih pakai Barbie, ya aneh saja. Setiap ada
yang aneh-aneh semacam dia itu, pikiran kami bisa sama.
“Mungkin lagi mau
nyari sensasi,” kata Wida beberapa bulan yang lalu.
“Jelas itu.”
Apa untungnya, kami
pun tidak pernah tahu. Yang jelas, ini menyakitkan karena aku tak punya
kesempatan lagi untuk menggosipkannya. Apa aku nekat saja; sekolah seperti
biasa, begitu. Tapi, dapat uang dari mana?
Kutilik di tas,
masih tersisa satu juta lebih seratus. Entah cukup untuk berapa hari lagi uang
itu. Sebelum habis, aku harus sudah menukarkannya dengan satu kunci kos-kosan.
Meski kelaparan, tak apalah. Asal aku ada tempat tinggal dulu.
Setidaknya, setiap
malam, aku tak perlu merasa khawatir harus tidur di mana. Sekalian sebagai
penguat saja agar aku tak kepikiran lagi untuk pulang ke rumah Mami.
Cincin di jari
serta kalung yang menjerati leher, kutahu pasti akan kujual juga nanti. Sedikit
pun, aku tak merasa sayang. Hanya saja, jika semua ini telah habis dan tak ada
lagi yang mampu kujual lagi…
Mau kerja, kerja
apa. Sekedar ijazah SMP pun tak kubawa. Melamar kerja tentu saja butuh itu.
KTP, KTA, semua tak kubawa. Jika sebelumnya selalu kukutuki para polisi yang
mewajibkan membawa ID card ke mana
pun, kini kukutuki diriku sendiri yang tak patuh.
Pelarianku ini sungguh
kacau. Harusnya, aku memikirkannya masak-masak sebelum bertindak. Segalanya ini
serba mendadak. Segalanya, mampu membuatku lupa pada keinginanku yang hendak
kembali bersekolah seperti yang sempat kurencanakan beberapa menit yang lalu.