Cerbung
Episode ke 6
Oleh Sofi Muhammad
youthrevolt.wordpress.com |
Yang tak kubenci
dari Mami adalah bahwa ia masih memberiku kesempatan untuk bersekolah. Bagi Mami,
status itu sangat penting. Jangankan SMP atau SMA, sampai kuliah pun Mami akan
membiayai.
“Semakin tinggi
statusmu, maka akan semakin mahal orang membayarmu!”
Aku teringat dengan
Mbak Ida. Di antara sekian banyak anak buah Mami, dialah yang mendapat honor
paling tinggi dari para tamu. Pertimbangan masuk akalnya adalah bahwa ia
berstatus mahasiswa. Benar kata Mami; status adalah syarat paling penting bagi
seseorang untuk bisa dihargai.
“Jika pada dasarnya
dia adalah pengangguran, maka harga ditentukan pelanggan,” kata Mami lagi.
“Hanya anak yang berkelas saja yang berani pasang tarif.”
Jika tetap berada
di rumah Mami, tentu sekolahku akan terjamin. Mau sampai setinggi langit pun
kurasa tak ada masalah. Yang jadi masalah adalah aku harus ikut kerja. Mami tak
mau jika harus beramal tanpa pamrih. Sementara aku, aku merasa tak mampu
membayar sebagaimana dengan syarat yang diajukannya.
Entahlah. Ini pun
masih dalam taraf proses pengambilan keputusan.
“Rangyu, Mbak?” seorang sopir angkot jurusan
Karangayu menghampiriku yang sedang mematung di tepi jalan.
Tanpa pikir
panjang, kunaiki saja angkot yang sering tak penuh apalagi sejak ada bus Trans itu.
Detik ini juga, aku butuh inspirasi. Menurutku, sedikit perjalanan pasti akan
bisa membantu. Sambil berjalan, aku juga sedang mencari hunian yang pas –terutama
pas di kantong, tentu.
“Rangyu,
Pak,” Sopir itu mampu membuyarkan lamunanku. Sejenak, kuamati dia. Wajah kusut
itu, keriput yang telah termakan usia itu, aku jadi rindu dengan ayah yang bahkan
aku tak tahu siapa, apa lagi di mana.
Ibu bukan tipe
orang yang suka bercerita masalah pribadi. Nostalgia, ia tak memiliki naluri
itu, barangkali. Sedari kecil, yang kutahu adalah bahwa aku hanyalah anak Ibu.
Sementara ayah, sekali pun aku tak punya gambaran, walau sekedar nama.
Jika ibu telah
hamil sebelum datang ke rumah Mami, besar kemungkinan dia dihamili pacarnya. Di
bayanganku, ibu ketahuan hamil kemudian diusir oleh kakek dan nenekku.
“Oalah, hujan lagi,
hujan lagi,” sang Sopir mengeluh. Semakin jauh, semakin sering ia mengeluh.
Langit telah
diselubungi butiran-butiran air yang segera jatuh ke bumi. Sinar matahari yang
baru saja menyinari itu tak memiliki andil sama sekali. Harusnya ada pelangi
jika keadaannya demikian. Tapi, berhubung kami, aku dan Pak Sopir itu sedang
bernasib sial, barangkali si pelangi malu. Takut dikira menyindir jika ia
keluarkan warna cerah mejikuhibiniu-nya.
Sementara Pak Sopir
itu masih mencari penumpang karena hanya baru dapat tiga sejauh ini. Aku pun
kembali berpikir. Buntu. Masih buntu saja pikiranku ini. Aku masih belum tahu juga
hendak tidur di mana malam ini.
***
Kos-kosan yang
murah itu biasanya yang tidak dekat dari kampus, area kerja, juga jalan raya.
Tapi, jika masuk ke pedalaman, aku sendiri kesulitan.
“Kiri, Pak.”
Secepat kilat, sopir
itu pun reflek menjejakkan kakinya di rem. Hampir saja kami para penumpang ini
terjungkal lantaran saking lebarnya bangku yang masih tersisa.
Seorang wanita
dengan rambut gimbal, turun dari angkot sambil menenteng dompet kecil di tangan
kiri. Ketika semilir angin sedikit bergulir, rambut itu tak hendak bergerak
setitik pun.
“Bismillah,” katanya berumak-umik sebelum
menjejakkan kaki di tanah.
Tak tahu kenapa,
aku ikut-ikutan turun juga –tapi tak ikut-ikutan berumak-umik yang sama. Tepat
di Simpang Lima, aku segera mencari sarapan. Sekitar jam delapanan pagi, belum
banyak warung yang buka. Jadi, kuputuskan untuk ke Mc.D saja.
Oleh karena ingin
menikmati waktu, aku memilih untuk mengitari lapangan Simpang Lima. Sebenarnya,
ada jalan pintas tapi aku tak hendak lewat situ. Lagi pula, ini masih jam-jam
para cleaning service bekerja keras.
Tak maulah kulewati mereka sambil berkacak pinggang.
“Woi, sialan kowe!” umpat seorang bapak-bapak dengan
ubannya yang mulai menyembul di gundukan kepala bagian depan.
Kubangan di tepi
jalan sempat menyiprat ke arah baju serta celananya lantaran ada sebuah mobil
berplat merah yang melaju di atas kecepatan sepantasnya.
“Sopir edan!”
Langit sudah
kembali cerah namun sisa-sisa gerimisnya masih juga terasa. Gerimis pembukaan,
kata guru Geografi.
“Sudah biasa, ya,
Pak?”
“Iya. Dilihat dari
katanya saja sudah jelas; Januari, hujan sehari-hari.”
“Eh, iya, ya.”
Kata Pak Guru,
gerimis di pagi hari itu adalah opening,
hujan pembukaan. Sementara closingnya,
berada di sore atau malam hari. Setiap hari, beberapa hari ini di bulan
Januari, kurasa juga benar begitu.
“Mau ke mana,
Mbak?” seorang lelaki tak kukenal dengan kaos oblong, tiba-tiba menyapaku.
Aku hanya diam
sambil terus saja melangkahkan kaki menyusuri area pedestrian menuju tempat
yang sudah kulirik sebagai tempat sarapan.
“Tak anterin mau,
nggak?”
Ah, di mana-mana
lelaki itu sama. Lihat jidat licin saja selalu tak tahan. Tapi, tidak semua
juga, sih. Arya, dia tidak begitu. Detik ini juga, aku mampu merasakan kehadirannya.
Semoga masih ada
kesempatan untuk bertemu. Meski sebelumnya kami tak sangat sering menghabiskan
waktu bersama tapi aku masih ingat pada beberapa penggal masa yang mampu
membuatku berhak merasakan perasaan ini.
Meski memasak
bukanlah bagian dari tugasnya tapi ia sering kali lakukan itu. Di rumah Mami
ada satu dapur yang memang jarang digunakan. Anggota Mami tak ada yang sempat
masak. Lagi pula, buat apa repot-repot jika ada duit di tangan.
Tapi Arya, entah
hobi atau apa, dia malah yang paling sering masak daripada kami para perempuan
ini.
“Beneran?”
“Enak, enak,”
komentarku kala ia menyuruhku mencicipi nasi goreng buatannya.
“Yes!”
Ah, aku senang.
Setidaknya, aku sudah pernah membuatnya senang.
“Laras?”
Mulutku reflek
menganga melihat perempuan yang berambut lurus panjang dan berkilau itu
menyapaku di Mc. D; rambut yang sering kujadikan model tiruan di masa depan.
“Mbak, Mbak Dian?”