Cerbung Episode 3
Oleh Sofi Muhammad
Nafasku
serasa berhamburan usai berlari sepanjang kurang lebih lima ratus meter;
melewati tikungan, minimarket, miniresto, hingga pangkalan awul-awul. Begitu
tiba di pertigaan terminal Penggaron, aku sesegera mungkin memasuki sebutut
angkot jurusan Karangayu.
Tak
ada tujuan pasti dan hanya sekilatan pikiran yang melintas kemudian aku
melakukannya. Sementara jantung ini masih berpacu belum terkendali, aku
berpikir lagi; ke manakah selanjutnya?
Seorang
saudara pun aku tak punya. Sedari kecil Ibu tak pernah mengajariku bagaimana
cara sungkem kepada si mbah kala musim Lebaran tiba. Atau, sekedar mengunjungi
keponakan yang sedang sunatan pun, tidak.
Hari-hariku
habis di kediaman Mami. Menyaksikan silih bergantinya pengunjung yang semakin
lama semakin memenuhi pangkalan. Seingatku, rumah itu dulu tak sebesar itu.
Saat masih TK, aku yakin bahwa pintu gerbangnya pun belum ada.
“Rangyu,
Rangyu, Rangyu… Pak, Karangayu, Pak…,” sopir yang angkotnya kunaiki terus
mencari penumpang. Sedang yang ditawari hanya geleng-geleng kepala.
Malam-malam
begini, aku tahu pasti tak akan mudah mendapat penumpang. Berhubung sangat
tergesa-gesa, kusuruhlah Sopir itu untuk memburu.
“Tak
boking, Pak. Sampai Karangayu, berapa?”
“Beneran?”
“Iya,
cepet. Berapa?”
“Emm…”
ia seperti berpikir keras. “Lima ratus ribu.”
“Oke.”
Dan,
sempat kulihat memang. Penyesalan itu sangat terlihat jelas di wajahnya. Seolah
aku yang begitu mudah mengiyakan ini membuatnya menjadi ingin meralat
ucapannya: salah, salah, satu juta jadinya sampai Karangayu. He…he…
Kusuruh
melaju cepat sopir itu. Sembari berjalan, mataku tak berhenti mengawasi. Kiri dan
kanan jalan, sebisa mungkin tak kubiarkan luput dari pandangan. Ajudan Mami,
aku yakin dia bisa kapan saja ke sini. Aku merasa yakin bahwa mereka bisa
tiba-tiba saja muncul di dalam angkot ini.
Apalagi
jika dalam keadaan macet di mana yang jalan kaki bahkan bisa lebih cepat dari pada
yang berkendara. Sedang ini, angkot ini pasti juga jauh lebih lambat dari pada kecepatan
motor para ajudan Mami yang dulu, memang mantan pembalap liar.
“Kalau
ada ATM berhenti, ya, Pak.”
“Siap.”
***
Pikiranku
ini tak bisa lepas dari mengingat nasib Arya, babuku itu. Kutahu bahwa si
Bangkotan Tua adalah seorang letnan. Seperti itulah yang pernah kudengar dari
parcakapan Mami dengan Mbak Dian, tetangga kamarku, beberapa hari yang lalu.
“Ah,
Mami pilih kasih.”
“Bukannya
begitu. Pak Letnan itu maunya sama yang ting-ting dulu.”
Ketika
mengingat kembali suara tembakan itu, aku merasa bagai selayang layu yang hidup
di belantara seorang diri. Jika terjadi sesuatu dengan Arya, aku semakin tak
tahu harus bagaimana selanjutnya. Jika nanti tiba-tiba Mami menemukanku, aku
merasa tak punya daya selain hanya menerima kenyataan itu.
Tindakanku
yang tadi itu sungguh berani. Tega nian aku memberontak; meninggalkan Mami
tanpa mengantongi surat izin terlebih dahulu adalah dosa besar. Oleh karena aku
melanggar, aku yakin takkan mungkin mampu untuk nyaman setelahnya.
“ATM
di swalayan Majapahit, ya Non.”
“Iya,
Pak. Terserah.”
Setibanya
di tempat yang kami maksud, Sopir menepikan angkotnya. Sangat pelan kakiku
menjeja di atas tanah. Bukan lantaran takut terciprat kubangan air usai hujan
tadi sore. Tapi, berhati-hati kalau-kalau ada ajudan Mami.
“Tunggu
bentar, ya, Pak.”
“Iya,
iya.”
Kulangkahkan
kaki masih dengan hati-hati. Sampai detik ini, aku memang masih merasa aman.
Mungkin saja tak sempat ada yang mengejarku lantaran panik usai si Letnan
itu mengeluarkan moncong berpelurunya.
Atau, Pak RT malah keburu datang kemudian hanya diam setelah disumpal beberapa
gepok uang.
Apa
pun itu, barang kali memang tak ada yang kepikiran –atau sempat berpikir– untuk
mengejarku. Lalu, bagaimana dengan Arya-ku? Ya Tuhan, aku bahkan telah
menganggapnya sebagai milikku. Jika dia benar-benar mati di tangan Bebandot
sialan itu, akh, andai aku memiliki kekuatan sedikit saja untuk sekedar
menuntut keadilan!
***
Ini,
malam ini adalah untuk yang pertama kalinya aku menggunakan fasilitas ATM.
Kuikuti saja petunjuk yang tertera di layar kaca. Diminta memasukkan card,
maka kumasukkan saja.
Untukmu,
Mami. Mengingat semua fasilitas mewah ini, okelah, aku akan memaafkanmu asal
tak kau minta aku kembali, asal kau biarkan saja aku merantau ke mana pun aku
mau. Selebihnya, aku juga akan membiarkanmu hidup bahagia menikmati hari tua.
Ha, ha!
Kala
berada di ruangan penuh uang itu, aku sungguh mampu melupakan segalanya, yang
baru saja terjadi. Fokusku hanya pada layar ATM bersaldo dua juta dari
Mami.
“Itu
sebagai modal,” kata Mami beberapa minggu yang lalu.
“Modal?”
“Yah.
Beli make up, baju, terserah kamu.”
Kini,
mumpung sedang berada di tempat yang tepat, aku berniat untuk menuruti perintah
Mami yang menyuruhku berbelanja baju. Jadi, okelah kuambil semua. Toh sebentar
lagi, Mami pasti akan segera mengurus ke pihak bank untuk memblokirnya.
Juga,
kutahu bahwa yang sedang kukenakan ini pasti akan mengundang ribuan pasang mata
jika tetap kupakai sampai keesokan hari. Selain baju, rasanya aku juga butuh
tas sekalian. Oh iya, satu lagi. Peralatan mandi.
“Dug,
dug, dug!”
Tubuhku
reflek menoleh ke belakang begitu mendengar suara ketukan pintu.
“Dug,
dug, dug!” lagi.
Seketika
itu juga, pikiranku yang sempat mengendur kalut kembali. Baik baju, tas, juga
peralatan mandi, semuanya berhamburan keluar-masuk di batok kepala. Sementara
itu, tangan ini tak berhenti bergetar kala kulihat lelaki berjaket dan
berkacamata hitam itu kini telah siap siaga di depan pintu ATM sambil
memandang tajam ke arahku.