Cerbung Episode 4
Oleh Sofi Muhammad
Rupanya
meleset jauh dugaanku. Atau, memang karena terlalu terbawa suasana hingga
seolah-olah, Mami ada di mana-mana. Lelaki berjaket serta berkacamata hitam itu
rupanya tak sebegitu yang kukira.
“Gantian,
Mbak. Sudah setengah jam, tau!” katanya.
Ah,
ha, tak kukira jika sudah selama itu. Atau, dia memang bohong karena menurutku
juga tak sampai kuhabiskan selama waktu yang ia laporkan. Hah, dasar, orang
Indonesia!
“Ngapain
saja, sih?!” tambahnya jengkel.
Aku
hanya diam. Tak hendak mencari masalah dengan lelaki setengah brewokan yang tak
kukenal itu. Untung gaunku ini terlihat mahal. Jadi, tak mungkinlah jika dia
tega berlama-lama mengata-ngataiku.
Setelahnya,
aku segera menuju ke tempat di mana Sopir kusuruh tunggu. Usai kuberikan ia
imbalan sebanyak yang telah kami sepakati, maka ia kusuruh pergi.
“Beneran
ini, Non?”
“Iya,
Pak. Nggak papa.”
“Makasih,
ya.”
Kurendahkan
tepian bawah gaun malamku. Meski aku pun tahu bahwa itu tak akan mengubah sesuatu
tapi tetap kulakukan juga. Dengan begitu, rasanya agak baikan. Setidaknya, ada
usahaku untuk menampakkan ketidak sukaan.
Sejenak,
kupandangi layar Blackberry pemberian Mami. Di sana tertera sedang
menunjukkan pukul delapan malam. Pikirku, aku masih punya cukup banyak waktu
untuk melonggarkan kaki hingga menunggu sampai swalayan ini tutup.
Toh
aku masih tak tahu harus ke mana. Jadi, sebisa mungkin kuhabiskan malam ini di
tempat umum yang tak peduli pada jam malam. Sayangnya, swalayan ini paling lama
hanya buka sampai jam sepuluhan.
Sembari
memilih jaket, otakku ini tak berhenti berputar. Jika kuhabiskan malam ini di
terminal Mangkang, tentu terlalu beresiko. Di Simpang Lima, ah, kutahu
sedikit-sedikit bahwa di sana tak jauh beda dengan pangkalan Mami kala dini
hari tiba. Di Masjid Baiturrohman, atau masjid Agung Jateng, bagaimana?
Sekali
pun, aku belum pernah masuk ke sana. Iya kalau ramai, kalau tidak. Aku ini
masih tak hendak bertegur sapa dengan siapa pun, sekedar satpam pun tak ingin.
“Permisi,
Mbak. Punya tissue, kah?”
Seorang
wanita separuh baya mendatangiku. Meski telah ditutup dengan sebelah tangan
tapi masih mampu kulihat bahwa ada sedikit ingus di lubang hidungnya.
Sepertinya, musim penghujan ini luyaman membuatnya terganggu.
Ini,
kejadian ini sungguh membuatku teringat kembali dengan guru Matematika-ku. Tadi
pagi, baru tadi pagi itu dia membawa sepack tissu. Ketika sedang
menggebu-gebunya menerangkan akar kuadrat ditambah akar pangkat lima, tiba-tiba
ia terhenti oleh bersin yang berkali-kali mendera.
“Ah,
maaf,” katanya sambil mencabut sehelai tissu dari kotaknya.
“Nggak
papa, Bu.”
Hingga
kejadian itu sempat terulang beberapa kali dan pada akhirnya, hari ini tak jadi
ulangan Matematika. Tak kukira, secepat itu aku sudah sangat merindukan
suasananya. Kelas satu, baru kelas satu dan aku harus terpaksa berhenti dengan
cara yang seperti ini.
***
Malam
ini, malam yang sesulit ini membuatku sempat berpikiran untuk kembali ke rumah
Mami. Berjuang seorang diri terasa terlalu berat. Kusalahkan juga Tuhan kenapa
memberikan padaku jenis kelamin perempuan. Setidaknya, jika aku seorang
laki-laki, aku tak perlu takut tidur di mana malam ini.
Sempat
juga aku berpikir untuk menghabiskan semalaman ini dengan mengitari salah satu
swalayan yang buka penuh selama dua puluh empat jam. Tapi, tentu saja aku tak
boleh memejamkan mata jika tak mau diusir satpam.
“Ojek,
Mbak?”
Seorang
lelaki kurus, bertato di lengan, tak bawa helm, mendekatiku. Ia tengah berdiri
di tepi jalan, seorang diri, dalam kemalaman yang mulai sepi.
“Nggak,
Pak. Aku nunggu jemputan,” kilahku.
Sementara
itu, jika harus bersembunyi di POM bensin, yah, bisa sebenarnya. Toh ada
mushola yang juga pasti buka penuh selama dua puluh empat jam di sana. Tapi,
sungguh sial karena taksi yang kutunggu tak nongol-nongol juga dari tadi.
“Makanya,
tak anter saja, Mbak,” lelaki kurus itu masih juga menggangguku.
“Nggak,
terimakasih.”
Ketika
aku hendak meninggalkannya, ia malah mengejarku dengan motor. Aku bingung harus
melarikan diri ke mana. Jika berteriak pun rasanya tak terlalu banyak membantu;
suara ini pastilah kalah dengan suara knalpot yang masih lumayan riuh berebut
aspal. Akhirnya, kusebrangi saja jalan raya dan masuk ke salah satu warung
tenda yang masih buka.
Akhirnya,
selamat.
“Silakan,
Mbak,” kata seorang lelaki berusia tiga puluhan sambil menyodorkan sedaftar
menu. Melihat tangannya yang bersih dan tak bertato, aku jadi lumayan tenang.
“Ini,
Mas,” kataku sambil menunjuk satu.
“Oh,
Fu Yung Hai?”
“Iya.”
“Minumnya?”
Sempat
juga terbersit untuk menginap di Ponpes Addainuriyyah Pedurungan; kebetulan,
teman sekelasku memang ada yang nyantri di sana. Tapi, kuurungkan kemudian
karena aku tak suka jika merepotkan. Jadi, satu-satunya tempat yang menurutku
masih berkemungkinan adalah satu; halte bus Trans Semarang.
“Silakan,
Mbak.”
Sembari
berpikir ulang, kunikmati masakan China itu pelan. Aku juga masih berusaha
mengulur waktu hingga pemilik warung ini sendiri yang bosan menyaksikan
penampilanku kemudian memutuskan untuk mengusirku.
Tapi,
setelah kupikir-pikir, ternyata tepat juga tempat ini; lumayan setrategis jika
dilihat dari segala sisi. Meski yakin bakal digigiti nyamuk karena aku lupa
beli lotion anti nyamuk, tapi tak apalah. Lagipula, ada meja serba guna
di pojok sebelah Barat dalam halte yang bisa kugunakan sebagai tempat
persembunyian.
“Kamu
di mana?” tanya Arya melalui surat kawat.
“Aku
aman,” jawabku singkat sembari berbinar oleh karena mendapatinya yang ternyata
masih bernyawa, tentu saja.
Tapi,
sejenak kemudian, pikiranku berbalik. Mengingat kembali suara tembakan itu, aku
jadi berpikir ulang. Iya kalau benar bahwa jari Arya sendiri yang mengetiknya.
Jika tidak, jika malah Mami, jika ajudan Mami. Akh.
Bersambung episode ke 5...
Bersambung episode ke 5...