Cerbung
Episode 8
Oleh Sofi Muhammad
Aku meringis secara
reflek. Rasanya, aku seolah menemukan kakak perempuanku yang telah lama
menghilang ditelan debu. Meski dulu kami tak sering saling curhat ketika masih di rumah Mami tapi mampu kurasakan sebetapa
berbedanya arogansi Mbak Dian dibanding Mami.
Mbak Dian itu,
kurasakan ia alami. Meski terkadang juga mengeluarkan suara sekeras gelegar
untuk menyaingi Mami tapi ia tak licik. Sekali pun, Mbak Dian tak pernah
menipuku. Jika menyuruh pun selalu memberi honor dan tak pernah
mengungkit-ungkit lagi.
Sementara itu, Mami
mengungkitnya. Selalu saja mengungkitnya demi memunculkan rasa bersalahku. Jika
memberi selalu yang mahal. Tentu saja agar aku tahu diri dan berusaha untuk membalasnya
dengan yang setimpal!
“Eh, baju yang ini
bagus, deh,” kata Mbak Dian menyarankan.
“Nggak, ah. Itu
terlalu mahal, Mbak.”
“Ya nggak papa.
Emangnya kamu pikir, aku nggak kuat mbayarin, apa?”
“Ah, yang biasa
saja, deh, Mbak. Lagian, gaun-gaun seperti itu malah membuatku bingung mau tak
bawa pergi ke mana…”
Meski sempat
disarankan beberapa yang menurutku tak layak tapi aku tak merasa terbebani
sebagaimana dulu ketika harus mencoba gaun-gaun mini pilihan Mami. Pada
akhirnya, hanya kaos berlengan pendek dan celana jeans saja yang mampu menarik
perhatianku.
Yang paling sangat
kusuka adalah kaos ungu bergambar Mickey
Mouse. Tak hanya bagus tapi itu juga mengingatkanku akan pesona mading sekolah yang terletak persis di
samping kelasku. Mading yang jarang penuh dengan warna-warni tulisan itu
terlampiri oleh sebentuk gambar Mickey
Mouse di pojok kanan atas.
Setiap hari ketika
berangkat atau pulang sekolah, aku selalu saja melihatnya. Meski tak pernah
sengaja tapi begitu saja mataku ini menubruk gambar itu. Sayangnya, tak ada
keterangan mengenai siapa pemiliknya. Sang penulis puisi yang meletakkan
tulisannya di perut Mickey Mouse itu
hanya menuturkan kekagumannya pada salah seorang temanku, Dita namanya.
My lovely, Dita
Di saat kumelihatmu di siang itu,
kurasa jantungku
berdetak kencang
seiring
menyambut kedatanganmu…
Terkadang, bukan terkadang deh, tapi
sering. Sering kali aku iri pada temanku yang satu itu. Secara fisik, kami toh
tak jauh berbeda. Bahkan, harusnya aku bisa jauh lebih populer oleh karena aku
yang tiap ke sekolah pakai Hp Blackberry
sementara dia tidak.
Tapi ketika di sekolah, ada beberapa cowok
yang kusaksikan tersipu kemalu-maluan kala di dekatnya. Kemudian, mereka memuji
rambut Dita yang hitam panjang, baju Dita yang disetrika licin, hingga pada tulisan
bagusnya yang kata cowok-cowok itu berasal dari efek jari lentiknya.
Dikiranya, jariku ini nggak lentik apa.
Tapi begitulah kenyataannya. Benar-benar tak ada yang menyadari. Bahkan Arya
yang beberapa kali mencuri-curi pandang ke arahku pun, dia tak pernah melirik walau
sekadar menilai bentuk jariku.
“Yakin, cuma itu?”
tanya Mbak Dian.
“Cukup, Mbak.
Besok-besok lagi ya,…”
Di mall ini, baru
kurasakan serpihan-serpihan cahaya yang menerpa penglihatanku. Mbak Dian adalah
dian yang menyalai keremanganku.
Laksana radiasi api yang menghangatkan namun tak sampai membakar.
Di dekatnya, aku
merasa merdeka jiwaku. Meski masih berada di titik abu-abu tapi ini sudah jauh lebih
mendingan. Setidaknya, udara bisa tersebar bebas di sini. Menghirupnya, tak
perlulah harus membayar pajak ke Mami.
“Dian,” sapa
seorang lelaki berjambang lebat dengan sedikit beruban ketika kami telah menuju
ke tempat di mana Mbak Dian memarkir mobilnya.
“Eh, Om,” balas
Mbak Dian sembari memamerkan kedua lesung pipit yang selalu muncul kala ia
tersenyum itu.
Di dekat mereka,
aku merasa seperti kambing congek. Oleh karena tak enak padaku, Mbak Dian
akhirnya menyuruhku untuk ke mobil dulu.
“Nggak akan lama,
kok,” katanya.
Meski dalam hati
cukup menyayangkan tapi kata Mbak Dian, semuanya sudah terlanjur. Hendak
kembali, ia tak mungkin bisa. Yang ada hanya rasa sakit hati jika tak sekalian saja
dikhianati dirinya sendiri.
***
Di mobil, aku hanya
bisa bengong. Beberapa kali telah kuputar lagu-lagu klasik yang sama sekali tak
kusukai.
Setelah bosan, kumainkan Hp yang baru saja
dibelikan Mbak Dian. Meski tak sebagus yang dulu tapi aku lumayan suka. Yang
penting, ada fasilitas perekam videonya. Tiba-tiba, aku ingin seperti para
jurnalis itu; mengabadikan apa pun yang ada di sekitarku.
Atau, besok-besok
minta kamera digital saja sekalian, ah. Atau, apa lebih baik aku minta
disekolahkan lagi agar hidupku ini kembali pulih. Tapi, tak usahlah. Kasihan
Mbak Dian. Aku seperti benalu yang tak tahu diri saja.
Sesekali,
kudongakkan mata menuju ke segala penjuru. Di mobil, aku hanya sendiri.
Sementara itu, Mbak Dian tak juga kunjung datang. Beberapa kali kudongakkan
mata, ia tak muncul-muncul juga.
Padahal tadi
katanya hanya sebentar. Sedangkan ini, menurutku sudah lebih dari sebentar.
Baiklah, bersabar saja.
Tapi, diam-diam aku
penasaran. Sebenarnya, apa yang dicari Mbak Dian selama ini. Jika masih
berkeinginan menumpuk harta, kenapa tak menikah saja pada jutawan misalnya
pemilik sarang walet yang pernah ditipunya itu?
Seperti sekarang
ini saja, aku yakin pasti banyak lelaki kaya yang masih mau menikahinya. Apa
dia tidak jijik juga. Aku yang memiliki kulit tak seputih dia saja selalu jijik
kala melihat bangkotan tua yang keranjingan. Sementara dia, ya Tuhan, apa-apaan
aku ini.
Mbak Dian sudah
sedemikian baik padaku. Tapi, lihatlah aku yang kini masih juga menghinanya,
menghina pekerjaannya padahal aku juga menikmati hasilnya. Harusnya aku tak
perlu ikut campur.
Kemudian, aku mau apa?
Kini, besok, dan
seterusnya, aku tak tahu harus memilih menjadi apa. Tak mungkin juga selamanya
numpang makan dan tidur di rumah Mbak Dian. Sedang jika hendak bekerja pun
rasanya terlalu mengada-ada.
Di luar sana, masih
banyak sarjana yang menganggur. Sementara aku yang baru lulus SMP saja sudah
sebegini ipyiknya. Lagi pula, ijazah
tak ada, apalagi KTP. Berusaha mencari kerja dengan tanpa modal seperti aku ini
ya cuma perek saja, apa lagi?
Hingga setengah jam
berlalu pun, Mbak Dian belum juga kembali.