Cerbung
Episode 9…
Oleh Sofi Muhammad
uniqpost.com |
Sayup-sayup
kudengar suara seseorang mengetuk kaca mobil kala aku setengah terlelap. Mbak
Dian rupanya. Dia telah kembali setelah –berapa, ya?– kira-kira ya dua sampai
tiga jam yang lalu.
Di sana, mampu
kulihat ada keletihan itu di wajahnya. Ketika tangannya menyibakkan poni, aku
mampu merasakan keredupannya. Lelah namun tak pernah berhenti. Selayaknya jalur
Semarang-Porwodadi yang tak pernah sepi.
Sekembalinya dari
pergi yang entah ke mana itu, Mbak Dian tak banyak bicara. Aku juga tak hendak
sok ikut campur. Ketika ia memasuki mobil, aku hanya melihatnya saja. Ketika ia
mulai menyetir, aku kembali memejamkan mata.
Tak benar-benar
bisa tidur sayangnya. Keterpejamanku beberapa jam yang lalu kukira sangat sudah
lebih dari cukup. Sementara bahu beserta tulang-belulangku yang lain pun
rasanya terlanjur pegal, kaku.
Tapi, untuk
mengajaknya berbicara, aku tak punya nafsu. Melihati keletihan di wajah Mbak
Dian saja sudah membuatku lemas tak berdaya.
“Lama ya?” tanya
Mbak Dian ketika kami cukup lama terdiam di sepanjang perjalanan.
“Nggak kok, Mbak.”
Kemudian, kami
terdiam lagi. Aku juga mencari posisi yang jauh lebih enak meski kutahu itu
akan sulit.
“Aku pindah
belakang, ya, Mbak,” kataku kemudian.
“Kenapa?”
“Ngantuk,” jawabku,
“mau tidur lagi.”
“Ooh.”
Berpura-pura tidur
seperti itu malah membuat pikiranku kacau ke mana-mana; membayangkan hal-hal
apa saja yang sekiranya dilakukan Mbak Dian dengan lelaki beruban itu hingga
tak kembali beberapa jam lamanya.
Bayanganku
berceceran mulai dari sejak mereka masuk hotel atau nonton bioskop sambil ngopi
bareng untuk sekadar perkenalan dulu di tahap awal. Tapi, kalau bioskop barang
kali tidak mungkin. Hanya ABG saja yang menurutku masih menggunakan area itu
untuk mencuri-curi kesempatan.
ABG, bukankah aku
ini pun masih ABG. Seharusnya, ini adalah masa-masa emasku untuk menikmati hari
muda; ke mall dengan teman, nonton, jalan-jalan, ngeceng, cuci mata, semuanya.
Sayangnya, aku pun
sudah menyadari bahwa itu hanyalah mimpi. Kecuali jika mau kuterima ajakan si
Rio, tetangga Mbak Dian yang beberapa kali menyapaku dari balik gerbang utama
kala ia jogging itu.
Pertama kali
bertemu sih, dia cuma tersenyum; senyum yang mengandung sinyal, tentu. Beberapa
hari setelahnya, ia mulai benar-benar menyapaku, menyebut namaku usai mengucapkan
kata ‘selamat pagi’.
Tapi, mahasiswa
semester awal itu pun menurutku tak bisa dipercaya. Beberapa kali melihat
gelagatnya, aku sudah tak suka. Ketika ia tersenyum itu, aku mampu melihat
udang di balik batok kepalanya. Untuk maksud apa, aku sendiri sudah cukup bisa
menebaknya.
***
Sesekali, kutahu
bahwa Mbak Dian pun melirikku dari kaca spion. Aku sendiri tidak tahu apa yang
dipikirkannya tentangku. Tapi, satu hal yang pasti bahwa aku ini mulai
menyayanginya. Ketika ia keletihan seperti itu, aku seolah mampu merasakannya
juga.
Jika berkenan,
ingin sekali-kali kutanyakan semua. Semua yang mengganjal ini tanpa terkecuali.
Namun, Mbak Dian tak pernah suka bernostalgia. Baginya, nostalgia hanyalah
sumpah serapah palsu yang hendak dikebumikannya sejauh mungkin.
“Kurang kerjaan
banget, sih,” keluhnya selalu kala melihat tetangga kami yang menggosip sambil
berbelanja dari pedagang kaki lima yang seringnya mangkal di pojok rumah.
Ketika nonton
sinetron yang keseringan nangis, Mbak Dian malah seringnya menyumpahi,
menyerapahi sebisa mungkin agar aku segera mengganti channel. Aku, barang kali memang butuh kesibukan agar tak
keseringan membuat Mbak Dian jengkel lantaran hanya selalu nonton TV saat ada
waktu luang.
“Ganti, ganti,”
begitu katanya.
“Bentar, Mbak. Lagi
seru!”
“Apanya yang seru?”
“Aktornya cakep.”
“Akh.”
Mungkin memang
sudah berbeda antara jalur pemikiran kami. Barang kali karena sudah sering Mbak
Dian itu bertemu dengan banyak aktor
cakep. Entah cakep di kantong atau benar-benar di fisik, kurasa Mbak Dian itu
sudah sempat menikmati semua.
“Lelaki itu
semuanya sama!”
“Apanya, Mbak?”
“Akh,” keluhnya, “suatu
saat kau pasti tahu sendiri.”
Bagiku, tetap saja tidak
sama. Aku tak setuju jika Arya-ku juga disamakan dengan banyak lelaki lain. Aku
ini, takut jika benar-benar tak bisa melupakannya. Mungkin karena rasa bersalah
inilah hingga aku merasa selalu dibuntuti oleh bayang-bayangnya.
Juga bayang-bayang
tingkah laku Mbak Dian yang membuatku penasaran. Dengan para bebandot sialan
yang beruntung karena ditakdirkan menjadi konglomerat, juga dengan beberapa
lelaki yang sempat ia beri pelayanan istimewa namun tak perlu bayar.
Meski tak pernah
cerita tapi aku tahu. Memang ada beberapa yang mendapati pelayanan seperti itu.
Kurasa jika sangat menyukainya maka Mbak Dian merasa bahwa dia sendirilah yang
butuh. Sekadar refresing, mungkin.
Aku bisa
menyimpulkan demikian karena ketika jalan-jalan, selalu pakai mobil Mbak Dian.
Jadi sedikit ngiri. Mereka itu, entah ketemunya di mana. Yang jelas, kupikir,
Mbak Dian tak buruk-buruk amat nasibnya karena masih juga memiliki sangat
banyak penggemar.
Benar saja begitu.
Aku yang perempuan saja, sering kali tak berkedip kala melihat langsung tatapan
matanya. Seolah ada magnet kuat yang mampu menarik pandang beberapa pasang mata
dalam waktu yang sangat lama.
Alis matanya itu
kalau sedang bangun tidur, aku malah lebih suka. Kealamiannya terlihat jelas
memukau mataku yang perempuan ini. Apalagi saat melihat pipinya yang telah
merona itu dipoles bedak tipis penghilang minyak berlebih.
Begitu pula dengan
kulit putihnya yang kulihat sehalus satin kala ia hanya memakai handuk saja
usai mandi. Dari kejauhan saja sudah mencorong, menggairahkan siapa saja yang
melihatnya, pasti!
Rasa-rasanya, jika
aku ini seorang lelaki, ya wanita seperti Mbak Dian inilah yang hendak
kuperistri. Tak perlu bermunafiklah ketika menjadi manusia itu. Bukankah semua
cinta memang berawal dari mata baru turun ke hati?!