Cerbung Episode 2
“Lari, Laras, lari!”
Hingga kuurungkan niatan itu dan kembali berlari.
“Lari, Laras, larilah…”
Oleh Sofi muhammad
manguri.wordpress.com |
Semuanya licik. Baik Ibu ataupun Mami, tak ada yang
berani bermain sehat denganku. Baru saja kuniatkan berbuat baik. Kulupakan
sejenak semua kejahatan Ibu yang telah lalu, kejahatan Mami yang terlanjur membeku. Namun, mereka malah menusukkan belati dari balik gundukan selimut tepat di pangkal nafasku.
Kupikir, Ibu tetaplah ibu. Rupanya tidak begitu. Dia tak benar-benar seorang ibu. Hatinya sudah beku barangkali karena
keseringan dibuatnya bermesum dengan banyak lelaki. Mungkin juga karena telah lupa bahwa ia hanya memilikiku. Seorang saja:
aku!
“Hari
ini, Om Hendra akan mengajakmu jalan-jalan.”
“Tapi, besok aku harus sekolah, PR-ku juga belum selesai, Mami.”
“Sekolah?” Mami mendekatiku, hampir memuntahkan kedua bola matanya. “Dasar,
sialan!” tangannya hampir
malayang di pipiku. Namun, dia menahannya. Aku sudah terlalu cantik untuk
dirusaknya lagi. “Kau pikir, aku merawatmu tak pakai duit? Pakai daun begitu?”
Aku hanya mampu
terdiam. Sementara Ibu, dia juga hanya tertunduk layu
di sampingku. Berusaha menggenggam lenganku yang kemudian kutepis secara
kasar. Sudah kukatakan tadi; aku membencinya!
Kini, yang tersisa hanya gelap. Di segala penjuru dunia, tak ada yang seterang kunang-kunang
penghias malam. Sedang
aku terlalu kusut untuk melawan. Mereka tak mampu kudeteksi
berada di mana saja. Jika bukan Mami, maka ajudan bayarannya yang bakal menyeretku ke dalam mobil si Bangkotan
itu.
Di pelataran rumah tengah berdiri babu lelakiku, masih memegang gunting
pemotong rumput. Meski sempat terhibur atas kehadirannya, namun untuk saat
ini, dialah satu-satunya orang yang tak ingin kulihat; tak
rela jika ia menyaksikanku yang sedang tampak sedemikian murahan.
Ah, aku pun membenci ini. Nostalgia yang gila dengannya hanya membuatku semakin sakit
hati. Dia hanyalah mimpi! Sedang aku tak diperbolehkan bermimpi. Satu-satunya
yang boleh hanyalah Mami,
seorang saja Mami!
Sementara ketika
pada akhirnya si Bangkotan itu berhasil
mengajakku jalan-jalan, baik aku atau
dia, kami sama-sama tidak mampu untuk berbuat apa-apa.
***
“Ada apa dengan
mobil ini.”
Si Bangkotan itu
mondar-mandir mengitari mobilnya yang sedang tak sanggup mengeluarkan suara
setelah distarter berkali-kali pun.
“Biar kucoba
perbaiki,” dia, babuku itu mendekat.
Aku masih mematung juga
di dalam. Sesekali kupandangi kala ia tak melihatku. Baik dari sebelah
jendela atau pintu mobil depan yang sedang terbuka, aku tetap berusaha untuk
menikmati kehadirannya.
“Mungkin karburatornya,
Om.”
“Yakin, kau bisa?”
Bangkotan itu bahkan meremehkannya meski dia sendiri sangat payah mengenai
mesin.
“Aku pelajari ini
di SMK, Om.”
Selanjutnya, ia
benar-benar memeriksa itu, sesuatu yang dikatakannya sebagai karburator itu.
Sedang aku tak henti-hentinya berharap. Jika Tuhan benar-benar adil, kenapa tak
diserahkannya nyawaku pada lelaki yang sering membuatkanku teh hangat,
menutupkan selimut tebal kala aku kedinginan di malam hari.
Ketika ia
mendongakkan kepalanya memasuki mobil, kupikir hendak mengecek starter agar lebih mudah baginya untuk
memeriksa. Tapi, yang terjadi adalah dikedipkannya matanya ke arahku sambil
melemparkan sepucuk kertas putih bergaris.
‘Lari, Laras, larilah!’
Seolah-olah, surat
itu adalah satu-satunya bayam milik Popeye. Setelahnya, keberanianku
muncul, harapan itu sedemikian memancar seterang mentari di esok hari.
Selanjutnya, kubuka
pintu mobil pada sisi yang tak ada penunggunya. Baik Mami atau pun ajudannya,
mereka sama-sama berkumpul dalam satu lokasi; menonton karena yakin tak akan
mampu membuktikan sesuatu.
Ketika aku
benar-benar mampu merasakan kekuatan serangkaian otot kakiku, aku terhenti
sejenak hendak menoleh ke belakang.
“Lari, Laras, lari!”
Hingga kuurungkan niatan itu dan kembali berlari.
Beberapa detik
setelahnya, ketika raga ini meluncur melewati serangkaian tembok yang
menjulang, mampu kudengar serentetan letupan keras yang kuyakini berasal dari
mulut pistol usai memuntahkan peluru.
Serasa anak ayam
yang kehilangan sang induk, aku berusaha kembali. Namun, kaki ini serasa hilang
kendali dan hanya terus berlari hingga benar-benar neraka itu tak mampu lagi
terlihat oleh kornea mataku.
Berputar-putar hingga tak mampu lagi otak ini berpikir lagi. Bingung oleh segerombolan mulut knalpot yang memenuhi badan jalan. Baik asap maupun riuhnya, semua berbaur hingga mengaburkan seluruh kesadaranku. Menghilangkan semuanya dan hanya menyisakan satu; suara babuku itu.
Berputar-putar hingga tak mampu lagi otak ini berpikir lagi. Bingung oleh segerombolan mulut knalpot yang memenuhi badan jalan. Baik asap maupun riuhnya, semua berbaur hingga mengaburkan seluruh kesadaranku. Menghilangkan semuanya dan hanya menyisakan satu; suara babuku itu.
“Lari, Laras, larilah…”
***
Baca juga: