Cerbung Episode 1
Oleh Sofi muhammad
manguri.wordpress.com |
Mami telah
bertengger siaga di depan pintu untuk menyambut kepulanganku dari sekolah siang
itu. Hingga
sepanjang lima belas tahun bersama, sekali pun belum pernah kulihat seraut nan
biru muda, secerah langit yang tak berawan itu di wajahnya.
“Temui
tamumu sebentar,” katanya dengan tanpa mengindahkan permintaanku
yang hendak mengganti pakaian putih abu-abuku terlebih dahulu.
Setibanya di ambang pintu, kakiku terhenti. Di ruang tamu sana terlihat empat lelaki dengan
kumis tebal serta rambut telah sempurna beruban. Seketika
jangtungku berpacu sedemikian hebat ketika sorot mata mereka secara reflek
mampu menohok sampai ulu hati.
Keempat-empatnya tersenyum hingga kumis tebalnya terpicing setengah cm di atas
bibir; mirip sekali dengan ikan asin yang
digarami. Kemudian,
tergolek kekar dalam jala yang telah mengeringkannya berkat terik siang hari.
“Ini dia, Laras.”
Mami membimbingku
agar segera mendekat; meninggalkan ambang pintu yang sempat kugunakan untuk
menyandarkan tubuh setengah lunglaiku barusan. Diarahkannya tanganku untuk
menjabati si Bangkotan itu satu-per satu.
“Senyum!” kata Mami
pelan sambil mencubit kecil sebelah perutku.
Aku pun tak banyak
berulah. Sedari kecil, Ibu senantiasa membiasakanku untuk menuruti
perintah Mami. Biar bagaimana pun, kata
ibu, hanya Mami satu-satunya manusia
yang mau menampungnya di kala ia
hamil tua.
Memang tak pernah ada selontaran yang terucap dari mulutku mengenai politik etis
itu. Harusnya, aku berhak untuk tidak sepatuh Ibu. Tapi,
ia selalu
tak setuju. Ibu tak ingin Mami mengusirku. Katanya, ia hanya punya aku. Seorang saja: aku!
“Hendrawan
Wibisono,”
kata salah seorang di antara keempat bangkotan tua sambil menyodorkan tangan
hitam besarnya yang hampir dipenuhi rambut.
Sementara itu,
Mammy buru-buru mengangkat tanganku ketika mendeteksiku yang hendak berbuat
kesalahan. Secepat
kilat dipaksanya agar aku mau menyambut uluran
tangan si Bangkotan itu. Alhasil,
tenaga ini semakin menguap mana kala ia telah berhasil meraihnya. Seringainya
itu yang sangat tidak aku suka; mirip nian dengan tikus selepas keluar dari kubangan.
Ketika tangan kami
bersatu, mataku tak kuasa menantang. Hanya bersembunyi saja menatap arah bawah
urat lehernya. Dari situ, sangat jelas terlihat olehku betapa tak muatnya
kancing-kancing baju yang menyatu dengan perutnya; bahkan mungkin akan
berguguran andai baju yang dipakainya itu hasil obrasan dari pasar Johar.
Selebihnya, Mami hanya
bercerita. Sesekali, ketiga kacung yang dibawa si Hendra manggut-manggut. Benar-benar
tak ada yang buka mulut ketika tak diminta. Seolah wahana
itu hanya milik Mami dan dia saja.
Sedang yang lain hanyalah penonton. Aku juga hanya menjadi penonton bagi
nasibku sendiri.
***
Anak lelaki itu seusiaku. Dua tahun ia bekerja jadi babu menemani ibunya
yang mulai tua dan penyakitan. Ngepel, nyuci piring,
motong rumput, apa saja. Kadang, dia juga membuatkanku secangkir teh hangat
setelah Mami mengguyurku dengan seember air comberan oleh karena aku yang kadang tak menurutinya.
Seharusnya memang tak perlu kupedulikan
sedemikian dalamnya. Sebagaimana
kata Ibu, aku juga mengiyakan bahwa dia hanyalah seorang babu. Namun, semakin aku
berusaha, aku semakin sakit hati karena memang hanya dia seorang
saja, yang setidaknya, mampu
memanusiakanku. Sungguh hanya dia, pembantu sialan itu!
Tangannya yang
masih ranum mulai merambati wajahku yang lebam akibat tamparan. Dua kali sudah
kutolak keinginan Mami yang menyuruhku agar mau berjalan-jalan dengan teman yang ia pilihkan.
Sebagai ganti, aku
harus rela menikmati hukuman. Meskipun begitu, aku toh jauh lebih bahagia meski
harus merasakan yang sesakit ini. Setidaknya, Mami tidak akan pernah memaksaku
lagi dalam beberapa hari hingga lebam di wajahku bersih kembali.
“Sakit, ya?”
Anak lelaki itu
semakin sering melayaniku. Seolah aku adalah ratunya yang sedang sekarat berat.
Tinggal menunggu detik-detik kematian yang entah akan jatuh beberapa detik
lagi.
Sementara itu, air
mata ini tak mampu tertahan. Belaian handuk kecil dari tangannya itu terasa menusuk sampai ke ulu hati. Membuatku
mampu merasakannya bahkan ketika mataku telah terpejam di malam hari.
Sedang dengannya, aku tak
ada keinginan untuk melawan. Kubiarkan saja ia
menggerayangi wajahku seolah memang hanya dia saja yang layak menyentuhnya; menyentuh
apa saja yang bahkan Ibuku pun tak kubiarkan daripadanya. Itu, belaian itu,
sungguh membuatku begitu ingin sesekali bercinta
dengannya.
***
Senja telah datang. Di teras rumah telah ada sekilatan mobil yang berkilauan
setelah tercolek cahaya remang-remang. Tak ada parkiran yang
cukup luas di halaman. Hanya secuil pelataran saja
yang bahkan
tanpa penutup kepala.
Kulihat, Ibu keluar dari mobil itu. Sejenak kemudian, ia masuk ke kamarku. Tersenyum kemudian
mengeluhkan keletihannya usai berbelanja bergunung-gunung pakaian. Barangkali, memang hanya itu saja yang ada dipikirannya. Tiap kali pergi, hanya itu
saja yang ingin dibeli.
“Cobalah,” katanya sambil menyerahiku satu.
Ibu memaksaku untuk segera mencoba segaun yang tanpa menyisakan celah bagi kulitku untuk bernafas. Tepatnya, ia berukuran dua puluh centi di atas lutut. Sedang bagian atasnya cukup mampu
untuk memperlihatkan sedikit payudaraku yang masih dalam proses pertumbuhan.
“Ini terlalu kecil, Bu,” keluhku.
“Tak apa. Hanya untuk dicoba saja.”
Kemudian, Ibu menuntunku untuk
duduk di depan meja rias. Tangan lentiknya mulai memilih
beberapa jenis bedak yang telah ia ambil dari kamar. Ketika dirasa telah
menemukan yang cocok, ia poleskan satu per satu ke wajahku.
Aku pun
tak punya alasan untuk menolak ketika ia berkeinginan
melihatku sekali-kali terlihat jauh dari biasanya. Maka, kubiarkanlah polesan demi polesan menebar ke segala arah. Kubiarkan sekali-kali, Ibu menjadi ibuku.
Ketika pipiku telah merona
dan bibirku mengilat oleh polesan lipgloss,
Ibu pun mengakhiri. Disusul kemudian dengan selontaran
kata ‘perfect’ sambil memandangi mataku yang
jadi bercahaya kerena eyeshadow
merah jambu.
Tadi, Ibu juga sempat memutar beberapa bagian rambutku yang terlalu lurus. Menjadikannya
sedikit bergelombang
hingga membuatku terlihat sedikit lebih tua dari usia
sepantasnya.
Tiba-tiba, aku sangat
berharap bahwa babuku itu bisa melihatku yang sedang seperti ini.
“Dia sudah datang,” kata Mami yang
mengintip dari balik pintu kamar.
Mami menatapku. Kubalas tatapannya dengan penuh tanda tanya. Dia siapa?
Pikiranku otomatis saja bergerak ke arah Bangkotan Tua. Gaun ini, ya Tuhan, Ibu menjebakku!
Bersambung Episode ke 2…
Bersambung Episode ke 2…