Cerbung
Episode 7
Oleh Sofi Muhammad
Awan bergaris
abu-abu masih setia bergelantung di pangkal langit. Sesekali, gerimis kecil turun
yang diiringi angin kecil pula. Baik ranting atau pun batang pohon, mereka
telah terbiasa basah oleh guyuran kecil namun selalu bertubi-tubi itu.
Sembari menikmati
desirannya, aku tertegun.
Kini, di hadapanku
telah terpancang rumah bercat putih dengan pintu gerbang yang di dalamnya masih
menyisakan kurang lebih sepuluh meter lahan untuk tanaman hias; bunga kecubung,
lili, mawar, anggrek, menur.
Selain itu, ada
juga sepasang pohon mangga cangkoan yang berjejer rapi di ujung kanan dan kiri
dari rumah Mbak Dian, rumah pribadi Mbak Dian. Sayangnya, ini masih Januari.
Jadi, belum bisalah kunikmati gelantungan kehijau-hijauannya kala ia sedang
berbuah.
Ukuran rumah itu,
bisa dibilang dua kali lebih kecil dari milik pribadi Mami. Tapi, ini lebih
tenang, lebih sepi dari keramaian pengunjung yang bolak-balik berseliweran.
“Hebat, kamu. Berani
meninggalkan Mami,” ucap Mbak Dian sambil melemparkan kunci mobilnya di meja
ruang tamu yang juga dicat putih. Korden yang menggelantung serta sofa
bergambar bunga melati yang terhampar pun juga didominasi oleh warna putih.
“Cuma kebetulan
saja, Mbak,” jawabku sekenanya.
“Ha, ha,
kebetulan…”
Mbak Dian itu,
kuingat bahwa dialah yang sebenarnya jauh lebih sangat berani. Dulu ketika
masih tinggal di rumah Mami, hanya Mbak Dian yang paling sering berbantah kecil
atau pun besar. Entah itu masalah kulit kacang yang sering digeletakkan secara
sembarangan oleh Mbak Dian, atau masalah jadwal.
Barang kali, ia
telah berang. Mami memang paling suka mencampuri urusan. Ketika Mbak Dian hamil
kemudian melahirkan, ia sempat hampir akan dinikahkan dengan seorang pengusaha
walet yang pada saat itu masih beristri. Hanya saja, jika Mbak Dian mau, pastilah
bakal langsung diceraikannya si istrinya itu.
“Sudah, terima
saja,” ujar Mami kala itu. Semua dari kami tentu tahu bahwa Mami pasti bakalan
dapat komisi jika Mbak Dian sampai mau.
“Males ah, aku
masih mau bebas, Mam!”
“Lha terus, bayimu
itu mau kamu apakan?” tanya Mami. “Mending kalau kelaminnya perempuan, saya
masih mau merawat.”
“Akh, cerewet
banget sih, Mam.”
Mbak Dian terus
saja berontak. Meski lumayan bingung hendak dibuang di mana bayi lelakinya itu
tapi Mbak Dian tetap bersikukuh. Memang diterimanya juga semua pemberian
juragan walet yang mulai semakin sering datang itu. Tapi, ketika berada di
titik puncak kebosanan, Mbak Dian lebih memilih kabur dari luar kandang.
Mami berang
setelahnya. Si juragan walet meminta ganti rugi karena Mbak Dian telah
melarikan motor baru miliknya.
“Kini, lihatlah
Laras,” kata Mbak Dian, “aku bisa berdiri sendiri meski tanpa menggunakan kaki
Mami!”
***
Berkali-kali,
kupandangi langit-langit kamar baruku ini sambil tersenyum. Ada-ada saja yang
mampu membuatku tersenyum hari ini. Sedikit saja goyangan korden yang tersapu
angin yang merasuk melalui celah-celah jendela kayu, aku bisa mudah saja
tersenyum.
Jendela kayu, aku
begitu tenang berteduh di dalamnya. Hembusan angin jauh lebih sejuk menerpa.
Lumayan agak berbeda dengan jendela besi yang ada di rumah Mami. Meski hanya
satu lantai tapi menghuni rumah Mbak Dian, aku serasa berada di puncak gunung
Ungaran.
Meski sedikit tak
terawat namun pada dasarnya rumah Mbak Dian itu cukup hijau. Jika Tuhan
mengizinkanku tinggal di sini dalam waktu yang lama, aku janji akan membantu
merawat sepot hitam akasia serta menyiangi rumput liar yang mengganggu kecantikan
lili dan kawan-kawannya.
“Makan Dulu, Ras,”
kata Mbak Dian yang tiba-tiba sudah nongol di depan pintu kamar.
“Iya, Mbak.”
Kupikir, ia masak
sendiri tapi rupanya tidak, dan tidak mungkin pula – harusnya aku juga tahu
bahwa itu tidaklah pernah mungkin. Sepanjang sejarah perjalanan kecil menapaki
kediaman Mami, tak ada ceritanya wanita yang mengotori tangannya dengan
mengupasi beberapa bumbu dapur. Salah-salah, jari-jari lentik mereka akan
menjadi bau oleh aroma bawang dan terasi.
Satu-satunya yang
tak takut bau adalah Arya. Semakin jauh, aku semakin merindukannya. Jika dia
benar-benar telah mati usai terdengarnya suara letupan itu, rasanya aku ingin
pergi juga. Menghinggapi belantara ini seorang diri hanya semakin membuatku
merasa kerdil.
Ini sungguh-sungguh
membuatku tak percaya dengan perkataan guru agamaku yang selalu memamerkan
keadilan Tuhan. Mana buktinya?
Sedikit saja hampir
merasakan bahagia, Ia selalu dengan sangat jahat diambilnya. Apa pun yang
sekiranya mampu membuatku bahagia, secara jahat pasti akan langsung direnggut.
Semacam senyum, sekecil apa pun, tak pernah diperbolehkan-Nya aku berlama-lama
menikmati.
Ketika aku sebentar
saja bergumul dengan Arya, membicarakan keanehan guru kami masing-masing, Tuhan
secara tergesa-gesa menghadirkan Mami atau pun Ibu untuk menegurku. Kenapa juga
tak turun sendiri. Malah main belakang, pengecut!
“Masakanmu enak,”
pujiku pada Arya dulu. “Eh, iya. Cita-citamu emangnya mau jadi koki, ya?”
tanyaku sambil antusias merasakan tumis buncis buatannya.
“Koki?” dia berpikir
sejenak. “Boleh juga.”
“Kalau kamu punya
restoran sendiri, aku mau deh bekerja di tempatmu,” candaku.
“Ah, itu sih akal-akalan
kamu saja biar bisa merasakan masakanku secara gratis, kan?”
Sambil mencuci
gelas dan piring yang memang sudah merupakan tugas sehari-harinya –apalagi
sejak ibunya semakin sering batuk-batuk– Arya berbalik menghadapku.
“Benar kamu mau
merasakan masakan gratisku terus?” tanyanya sambil menatap nakal tepat di kedua
bola mataku.
“Emang, kamu bener
mau buka restoran?”
“Nggak, sih…”
“Lalu?”
“Kalau mau makan
masakanku terus,” ia semakin merapatkan matanya hingga menusuk tajam sampai ke
hati, “kamu jadi istriku saja.”
Ah, Arya. Meski tak
ada kaca di dapur. Tapi, mampu kurasakan kedua pipiku ini merona saat itu. Yah,
hanya saat itu dan tak bisa lagi untuk saat ini.
“Ayo, makan! Malah
ngelamun,” tiba-tiba Mbak Dian datang lagi ke kamar.
“Iya, Mbak.”
Usai melihatiku
dari atas hingga bawah ketika kami sama-sama menuju meja makan, Mbak Dian
akhirnya memutuskan, “Besok kita ke mall!”
“Ngapain, Mbak?”
“Beli beberapa baju
buat kamu.”